Saturday, 27 June 2015

Veronika Hadi Purwantini: Bersyukur atas Anugerah Sakit


Dear GEMAKSI




Pada hari ulang tahun yang membahagiakan, tiba-tiba kedua kaki perempuan single parent ini tak bisa digerakkan. Ia berjuang untuk bisa berjalan kembali setapak demi setapak

Hari itu, 3 Agustus 2012, rumah Veronika Hadi Purwantini nampak ramai. Titin sapaannya, merayakan Hari Ulang Tahun ke-47 sehingga saudara dan keluarganya berkumpul. Hari itu adalah hari bahagia.

Namun, kebahagiaan itu pudar. Tiba-tiba Titin tak dapat menggerakkan kedua kakinya. Dua buah hatinya pun memapah Titin menuju ruang tamu. Sedih, bingung dan gelisah campur aduk di hati Titin. Ia tak menyangka pada perayaan hari lahirnya, ia justru mendapat “kado” kelumpuhan kaki.

“Saya bertanya dalam hati, akankah saya cacat selamanya? Apakah saya sanggup melewati perjalanan hidup nantinya dengan kuat dan sabar? Sangatlah mustahil menerima kenyataan pahit ini …. Saya belum siap Tuhan. Kasihanilah dan tolonglah saya, izinkanlah saya pulih kembali,” demikian pinta Titin dalam doanya.

Ada khawatir dan bimbang yang menyelinap di hati Titin akan masa depan hidupnya dan buah hatinya. Apalagi ia adalah single parent, sejak sang suami meninggal pada 2005 karena diabetes.

Titin merasa tidak sanggup menghadapi kelumpuhan ini. Terlintas dalam benak nya, kelumpuhan itu pasti akan membatasi lingkup gerak dan aktivitas Titin sebagai guru. Pun dalam berbagai kegiatan di lingkungan dan Gereja yang ia libati: menjadi lektor dan guru Sekolah Minggu.

Pada saat itu Titin juga merupakan Sekretaris Seksi Panggilan Paroki Hati Kudus Kramat yang merangkap sebagai Sekretaris Seksi Panggilan Dekenat Pusat Keuskupan Agung Jakarta. Selain itu dia aktif dalam keanggotaan Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Paroki Kramat. Semua aktifitas gereja ini dia jalani di tengah kesibukannya sebagai guru di SD Melania 1 Jakarta.

Masuk ICU
Sebelum pesta ulang tahunnya, Titin jatuh di jalan, tak jauh dari rumahnya. Waktu itu, ia merasakan tubuhnya terasa amat lemas, kepala pusing, dan tenggorokan sakit. Setelah turun dari angkutan umum yang ia tumpangi, Titin tak kuasa lagi menahan berat tubuhnya. Untunglah putranya segera datang dan memapah Titin menuju rumah.

Buah hatinya membawa Titin untuk berobat ke dokter terdekat. Tetapi, kondisi kesehatan Titin tak kunjung membaik. Ia merasakan bibirnya menebal dan mati rasa. Tangan dan kaki juga mengalami kesemutan. Namun, saat itu ia masih bisa menggerakkan tubuh, tangan, dan kakinya. “Saya bersyukur karena masih bisa menggerakkan tubuh, walaupun semakin melemah,” ujar Titin. Rasa syukur itu seakan sirna, kala tiba-tiba kedua kakinya tak dapat digerakkan.

Sehari setelah ulang tahunnya, pada malam hari, Titin dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD) RS Saint Carolus Jakarta. Wajahnya semakin pucat dan bibirnya miring. Karena tidak ada kamar kosong, ia dibawa ke RS Premier Jakarta Timur. Dokter saraf yang memeriksa Titin mengatakan bahwa ia menderita Guillain Bare Syndrome (GBS).

GBS adalah peradangan akut yang menyebabkan kerusakan sel saraf tanpa penyebab yang jelas. Sindrom ini ditemukan Georges Guillain, Jean-Alexandre Barré, dan André Strohl, pada 1916. Mereka menemukan sindrom ini pada dua tentara yang menderita peningkatan produksi protein cairan otak yang abnormal.

Dalam kondisi normal, tubuh akan menghasilkan antibodi yang berfungsi untuk melawan antigen atau zat yang merusak tubuh ketika tubuh terinfeksi penyakit, virus, maupun bakteri. Namun pada kasus GBS, antibodi yang seharusnya melindungi tubuh justru menyerang sistem saraf tepi dan menyebabkan kerusakan pada sel saraf. Kerusakan tersebut akan menyebabkan kelumpuhan motorik dan gangguan sensibilitas bagi penderita GBS.

Untuk membantu pernafasan, Titin memakai alat ventilator atau alat bantu pernafasan. Titin merasakan tubuhnya semakin lemah sehingga ia pingsan. Lalu, ia dipindah keruang Intensive Care Unit (ICU). Keadaannya kian memburuk. Keluarga Titin meminta imam untuk memberinya Sakramen Pengurapan Orang Sakit.

Dalam ketidakberdayaan, Titin menyebut nama Yesus dalam hatinya. Ia seolah merasakan kehadiran Yesus di dekatnya, di ruang ICU, dalam kelemahan fisik yang ia alami. Titin dapat merasakan hatinya tenang sehingga bisa tertidur.

Selama tiga minggu, Titin berada di ruang ICU. Walau di ruang ICU bersuhu dingin, tubuhnya sama sekali tidak merasakan dingin sedikitpun. Bahkan, ia sempat tidur berbantal tiga balok es sebesar batu bata yang dibungkus dengan kain.

Seiring bergulirnya waktu, kondisi Titin berangsur-angsur membaik hingga akhirnya dokter mengizinkannya pulang. Perjuangan pemulihan kondisi kesehatan Titin di lanjutkan di rumah.

Ketika diizinkan pulang, Titin hanya mampu menggerakkan ujung-ujung telapak kaki dan mengangkat lengannya. Tubuhnya seperti tidak berotot dan tidak bertenaga. Untuk melakukan segala sesuatu, Titin memerlukan bantuan orang lain. Ia bersyukur atas bantuan dan kasih sayang dari putra dan putrinya, serta sanak sudaranya yang lain.

“Saya berterima kasih kepada Tuhan, setiap kali ada kemajuan positif dalam saraf motorikku. Saya menikmati hari demi hari perkembangan motorikku, karena kutahu Tuhan mendampingiku,” ungkap putri keempat dari sembilan bersaudara pasangan Johanes Sidik Prajitno dan Theresia Mint Sumarmi ini.

Kasih Setia Tuhan
Menghadapi sakit, Titin menguatkan diri dengan doa dan mengimani kutipan dari Mazmur 13:6 : “Kepada kasih setia- Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak ka rena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk Tuhan, karena Ia telah berbuat baik kepadaku.”

Saat menjalani terapi demi terapi Titin terus berserah dalam doa. Hanya iman akan Yesus dalam doalah yang menjadi kekuatan untuk menjalani segala usaha memperoleh kesembuhan. “Tuhan, tolonglah saya agar melalui terapi ini, saya bisa menjadi lebih baik. Saya percaya bahwa doa-doa saya didengar oleh-Nya. Karena, setiap orang berharga di mata- Nya seperti tertulis dalam Kitab Yesaya 49:16: Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku,” tutur Titin.

Titin mulai belajar menggunakan kursi roda dan belajar berjalan dengan walker (tongkat). Setapak demi setapak ia berjuang menguatkan langkah dan juga harapannya. Dan suatu ketika, betapa bahagia hatinya, ia bisa berjalan walau perlahan.

Tiga bulan berselang, akhir November 2012, Titin bisa berjalan tanpa bantuan kur si roda atau tongkat. Batinnya melonjak girang ketika pada Desember 2012 ia bisa mengikuti Misa Malam Natal bersama dua buah hatinya. “Walaupun lang kah saya belum bisa cepat, namun saya sangat bersyukur untuk kesempatan indah mengikuti Misa,” kisahnya.

Bagi Titin, apa yang terjadi dalam hidupnya - termasuk sakit - merupakan cara Tuhan menyayanginya. Sekecil apapun kemajuan dalam memperoleh kesembuhan ia refleksikan sebagai anugerah kasih terindah dari Tuhan. Ia percaya, tiada sesuatupun yang mustahil bagi Tuhan. Segalanya bisa diubah menjadi kebaikan bagi umat-Nya.

“Tiada masalah yang tidak teratasi, apabila kita selalu menyertakan Tuhan di dalam kehidupan kita. Berimanlah terus kepada Tuhan yang sangat mencintai umat-Nya,” demikian Titin.



 Dari :

Ivonne Suryanto



DOMINUS VOBIS CUM
REGARDS
RICHARDO NELSON


0 comments:

Post a Comment