Dear GEMAKSI
Matilda Narulita, sulung dari dua
bersaudara. Pada 2005, ia mulai menempuh pendidikan di Fakultas Teknik Kimia,
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Selama masa kuliah, ia aktif dalam
kegiatan Keluarga Mahasiswa Teknik Kimia UGM dan Badan Pers Entropi. Ia juga
senang mengikuti kegiatan sosial, seperti Blood for Life dan gerakan
sosial yang memiliki misi membantu pihak-pihak yang kesulitan mendapatkan donor
darah.
Lulus kuliah, Matilda magang sebagai
production engineer di VICO Indonesia - perusahaan minyak dan gas di
Kutainegara, Kalimantan Timur. Ia magang Juli hingga Oktober 2010.
Suatu hari, pada November 2010,
Matilda mengunjungi website Indonesia Mengajar. Ia tersentak dengan kata-kata
Anies Baswedan, penggagas “Indonesia Mengajar”: “Stop cursing the darkness.
Let’s light the candle” (Berhentilah mengutuk kegelapan. Marilah menyalakan
lilin). “Saya menjadi tertantang dan akhirnya memutuskan untuk keluar dari zona
nyaman saya dengan mengikuti program itu (Indonesia Mengajar, Red). Saya
ingin melakukan hal nyata untuk masyarakat melalui pendidikan, yang merupakan
kunci pembangunan suatu bangsa,” kata perempuan yang pernah menjadi delegasi
Indonesia di APEC Youth Camp, Peru, ini.
Kemudian, Matilda mendaftar diri.
Pada Maret 2011, bersama beberapa peserta pendaftar “Indonesia Mengajar” di
Yogyakarta, ia mendirikan Komunitas Jendela. Komunitas ini bergerak dalam
bidang pendidikan anak. Program pertama mereka adalah mendirikan perpustakaan
bagi anak-anak di Shelter Gondang 1, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, tempat
hunian sementara bagi korban erupsi Merapi.
Selang sebulan, Matilda mendapat
tempat untuk mengajar di Desa Lamdesar Barat, Kecamatan Tanimbar Utara,
Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Selama satu tahun empat
bulan, ia melayani sebagai salah satu pengajar di daerah itu. Ia merasa
bersyukur karena memperoleh kesempatan untuk bisa berbagi dan menimba
pengalaman di daerah.
Setelah itu, Matilda bekerja sebagai
process engineering di sebuah perusahaan Engineering, Procurement,
Construction (EPC). “Menjadi insinyur adalah satu dari sekian passion
saya, di luar mengajar. Saya ingin meniti karir di bidang engineering,
sambil aktif di berbagai kegiatan sosial. Saya bersyukur bahwa perjalanan hidup
saya tidak terlepas dari hal-hal yang sangat saya cintai,” ungkap buah hati
pasangan Aloysius Sunarto dan Yosephine Ria Astuti ini.
Menerima Kenyataan
Hari demi hari berlalu. Matilda
larut dalam kesibukan pekerjaan. Pada Juni 2014, ia merasa ada yang tidak beres
dengan tubuhnya. Ada pembengkakan kelenjar getah bening di leher kiri. Suhu
badannya juga tinggi. Ia pun memeriksakan diri ke dokter. Diagnosa awal dari
dokter adalah ia terkena Tuberculosis (TB) kelenjar. Matilda pun mencari second
opinion dari tiga dokter spesialis penyakit dalam lainnya. Diagnosa dokter
bervariasi, antara TB kelenjar positif dan negatif. Meskipun begitu, sulung
dari dua bersaudara ini akhirnya memutuskan melakukan pengobatan TB kelenjar
pada dokter keempat yang ia datangi.
Setelah Matilda menjalani pengobatan
selama empat bulan dari sembilan bulan yang dijadwalkan, tidak ada perkembangan
berarti. Malahan setiap bulan, ia mengalami pembengkakan kelenjar getah bening,
diikuti demam tinggi pada malam hari, nyeri tulang dan sakit perut. Dokter
menyatakan, itulah infeksi sekunder sebagai efek samping TB kelenjar.
“Namun, setelah membaca banyak literatur
dan bertanya kepada teman yang menderita TB kelenjar, saya mulai merasa ada
yang salah. November 2014, ketika gejalanya makin parah dan muncul pembengkakan
kelenjar getah bening di leher kanan, saya pergi ke dokter lain dan menjalankan
biopsi jarum halus kedua. Ternyata, hasilnya adalah Lymphoma Malignant
Hodgkin atau Hodgkin’s Lymphoma, bukan TB kelenjar,” kisah Matilda.
Pemeriksaan demi pemeriksaan
dilakukan. Dokter menyatakan, Matilda terkena Hodgkin’s Lymphoma stadium
3B, yang sudah menyebar sampai ke limpa. Untuk mencari second opinion,
ia berobat ke Singapura. Hasilnya sama. Limfoma adalah kanker yang menyerang
sistem limfatik, yang merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh. Bukannya
menjalankan tugas untuk menyerang penyakit yang masuk ke tubuh, sistem
kekebalan tubuh justru diserang dan dilumpuhkan oleh sel kanker ini.
Kenyataan pahit ini tak serta merta
mudah ia terima. Namun, Matilda tak mau terlalu larut dalam kekecewaan. Ia
berusaha menerima serta berfokus pada pengobatan dan penyembuhan penyakitnya.
Ia menjalani kemoterapi setiap dua minggu sekali sebanyak 12 kali.
“Sejak didiagnosa limfoma, kantor
memberikan cuti selama enam bulan, Januari- Juni 2015, sampai pengobatan
tuntas. Selama cuti, saya memanfaatkan waktu untuk mempersiapkan kuliah S2 dan
kembali menjadi admin di Blood for Life,” ungkap umat Paroki St Alfonsus
Nandan, Yogyakarta ini.
Terus Berjuang
Di tengah kelemahan fisik, Matilda
terus menyalakan harapan. Dukungan keluarga dan orang-orang terdekat turut
menguatkan perjuangannya untuk menjalani pengobatan. “Saya bersyukur karena
keluarga saya tetap positif dan optimis menghadapi vonis kanker, sehingga saya
pun optimis,” kisahnya.
Ketika pertama kali didiagnosa
limfoma, teman Matilda langsung mencarikan dokter terbaik di Singapura dan
menawarkan rumahnya sebagai tempat tinggal selama Matilda berobat. Ia juga
dipertemukan dengan survivor limfoma yang telah sembuh dan membantunya
melewati masa-masa sulit selama pengobatan.
“Saya mampu menjalani pengobatan
sampai sejauh ini karena campur tangan Tuhan lewat orang-orang di sekitar saya.
Inilah yang tak henti-hentinya saya syukuri. Limfoma memberikan pengalaman
paling berharga bagi hidup saya. Selain itu, saya ingin menularkan semangat
bagi penderita limfoma lainnya,” ungkap perempuan kelahiran Sleman, Yogyakarta
14 Maret 1987 ini.
Meskipun masih berjuang dengan
kanker yang mendera tubuhnya, Matilda tetap ingin berbagi dengan orang lain. Ia
membuat blog untuk berbagi informasi mengenai limfoma. Lewat blog
ini, ia dipertemukan dengan beberapa survivor limfoma maupun teman yang
masih berproses untuk menjalani pengobatan limfoma dan kanker lainnya. Mereka
saling bertukar informasi dan pengalaman mengenai pengobatan limfoma dan saling
mendukung.
“Ide tulisan berasal dari pengalaman
saya semasa proses diagnosa dan pengobatan. Ada juga informasi lain yang selama
ini belum banyak dibahas, misalnya pola makan selama kemoterapi. Di samping
itu, teman-teman juga sering memberikan masukan ide untuk tulisan,” ujar
Matilda.
Selama berjuang menghadapi sakit,
Matilda pernah didera kecewa, putus asa, dan ingin menyerah. Dalam situasi itu,
ia menyerahkan semua kepada kehendak Tuhan. “Dengan mengandalkan Tuhan, setiap
langkah akan terasa lebih ringan dan hidup menjadi penuh syukur. Saya juga
tidak lupa untuk selalu berterima kasih kepada tubuh yang sudah berjuang
melawan kanker. Semakin banyak rambut yang rontok, badan kian terasa sakit,
semakin banyak pula sel-sel kanker yang mati,” tuturnya.
Harapan untuk sembuh menghiasi hati
Matilda. Ia berharap agar mereka yang tengah berjuang melawan kanker bisa
menjadi pasien yang kritis dalam mengawal proses diagnosa dan pengobatan. “Juga
selalu positif dalam menjalani pengobatan, selalu membawa setiap kesulitan
dalam doa karena Tuhanlah yang akan membantu dan memandu kita untuk menemukan
jawaban dari pergumulan kita,” demikian Matilda.
Dari :
Ivonne Suryanto
0 comments:
Post a Comment