Saturday, 20 June 2015

Matilda Narulita: Berbagi dan Berjuang dengan Kanker




Dear GEMAKSI

Matilda Narulita, sulung dari dua bersaudara. Pada 2005, ia mulai menempuh pendidikan di Fakultas Teknik Kimia, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Selama masa kuliah, ia aktif dalam kegiatan Keluarga Mahasiswa Teknik Kimia UGM dan Badan Pers Entropi. Ia juga senang mengikuti kegiatan sosial, seperti Blood for Life dan gerakan sosial yang memiliki misi membantu pihak-pihak yang kesulitan mendapatkan donor darah.

Lulus kuliah, Matilda magang sebagai production engineer di VICO Indonesia - perusahaan minyak dan gas di Kutainegara, Kalimantan Timur. Ia magang Juli hingga Oktober 2010.

Suatu hari, pada November 2010, Matilda mengunjungi website Indonesia Mengajar. Ia tersentak dengan kata-kata Anies Baswedan, penggagas “Indonesia Mengajar”: “Stop cursing the darkness. Let’s light the candle” (Berhentilah mengutuk kegelapan. Marilah menyalakan lilin). “Saya menjadi tertantang dan akhirnya memutuskan untuk keluar dari zona nyaman saya dengan mengikuti program itu (Indonesia Mengajar, Red). Saya ingin melakukan hal nyata untuk masyarakat melalui pendidikan, yang merupakan kunci pembangunan suatu bangsa,” kata perempuan yang pernah menjadi delegasi Indonesia di APEC Youth Camp, Peru, ini.

Kemudian, Matilda mendaftar diri. Pada Maret 2011, bersama beberapa peserta pendaftar “Indonesia Mengajar” di Yogyakarta, ia mendirikan Komunitas Jendela. Komunitas ini bergerak dalam bidang pendidikan anak. Program pertama mereka adalah mendirikan perpustakaan bagi anak-anak di Shelter Gondang 1, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, tempat hunian sementara bagi korban erupsi Merapi.

Selang sebulan, Matilda mendapat tempat untuk mengajar di Desa Lamdesar Barat, Kecamatan Tanimbar Utara, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Selama satu tahun empat bulan, ia melayani sebagai salah satu pengajar di daerah itu. Ia merasa bersyukur karena memperoleh kesempatan untuk bisa berbagi dan menimba pengalaman di daerah.

Setelah itu, Matilda bekerja sebagai process engineering di sebuah perusahaan Engineering, Procurement, Construction (EPC). “Menjadi insinyur adalah satu dari sekian passion saya, di luar mengajar. Saya ingin meniti karir di bidang engineering, sambil aktif di berbagai kegiatan sosial. Saya bersyukur bahwa perjalanan hidup saya tidak terlepas dari hal-hal yang sangat saya cintai,” ungkap buah hati pasangan Aloysius Sunarto dan Yosephine Ria Astuti ini.

Menerima Kenyataan
Hari demi hari berlalu. Matilda larut dalam kesibukan pekerjaan. Pada Juni 2014, ia merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Ada pembengkakan kelenjar getah bening di leher kiri. Suhu badannya juga tinggi. Ia pun memeriksakan diri ke dokter. Diagnosa awal dari dokter adalah ia terkena Tuberculosis (TB) kelenjar. Matilda pun mencari second opinion dari tiga dokter spesialis penyakit dalam lainnya. Diagnosa dokter bervariasi, antara TB kelenjar positif dan negatif. Meskipun begitu, sulung dari dua bersaudara ini akhirnya memutuskan melakukan pengobatan TB kelenjar pada dokter keempat yang ia datangi.

Setelah Matilda menjalani pengobatan selama empat bulan dari sembilan bulan yang dijadwalkan, tidak ada perkembangan berarti. Malahan setiap bulan, ia mengalami pembengkakan kelenjar getah bening, diikuti demam tinggi pada malam hari, nyeri tulang dan sakit perut. Dokter menyatakan, itulah infeksi sekunder sebagai efek samping TB kelenjar.

“Namun, setelah membaca banyak literatur dan bertanya kepada teman yang menderita TB kelenjar, saya mulai merasa ada yang salah. November 2014, ketika gejalanya makin parah dan muncul pembengkakan kelenjar getah bening di leher kanan, saya pergi ke dokter lain dan menjalankan biopsi jarum halus kedua. Ternyata, hasilnya adalah Lymphoma Malignant Hodgkin atau Hodgkin’s Lymphoma, bukan TB kelenjar,” kisah Matilda.

Pemeriksaan demi pemeriksaan dilakukan. Dokter menyatakan, Matilda terkena Hodgkin’s Lymphoma stadium 3B, yang sudah menyebar sampai ke limpa. Untuk mencari second opinion, ia berobat ke Singapura. Hasilnya sama. Limfoma adalah kanker yang menyerang sistem limfatik, yang merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh. Bukannya menjalankan tugas untuk menyerang penyakit yang masuk ke tubuh, sistem kekebalan tubuh justru diserang dan dilumpuhkan oleh sel kanker ini.

Kenyataan pahit ini tak serta merta mudah ia terima. Namun, Matilda tak mau terlalu larut dalam kekecewaan. Ia berusaha menerima serta berfokus pada pengobatan dan penyembuhan penyakitnya. Ia menjalani kemoterapi setiap dua minggu sekali sebanyak 12 kali.

“Sejak didiagnosa limfoma, kantor memberikan cuti selama enam bulan, Januari- Juni 2015, sampai pengobatan tuntas. Selama cuti, saya memanfaatkan waktu untuk mempersiapkan kuliah S2 dan kembali menjadi admin di Blood for Life,” ungkap umat Paroki St Alfonsus Nandan, Yogyakarta ini.

Terus Berjuang
Di tengah kelemahan fisik, Matilda terus menyalakan harapan. Dukungan keluarga dan orang-orang terdekat turut menguatkan perjuangannya untuk menjalani pengobatan. “Saya bersyukur karena keluarga saya tetap positif dan optimis menghadapi vonis kanker, sehingga saya pun optimis,” kisahnya.

Ketika pertama kali didiagnosa limfoma, teman Matilda langsung mencarikan dokter terbaik di Singapura dan menawarkan rumahnya sebagai tempat tinggal selama Matilda berobat. Ia juga dipertemukan dengan survivor limfoma yang telah sembuh dan membantunya melewati masa-masa sulit selama pengobatan.

“Saya mampu menjalani pengobatan sampai sejauh ini karena campur tangan Tuhan lewat orang-orang di sekitar saya. Inilah yang tak henti-hentinya saya syukuri. Limfoma memberikan pengalaman paling berharga bagi hidup saya. Selain itu, saya ingin menularkan semangat bagi penderita limfoma lainnya,” ungkap perempuan kelahiran Sleman, Yogyakarta 14 Maret 1987 ini.

Meskipun masih berjuang dengan kanker yang mendera tubuhnya, Matilda tetap ingin berbagi dengan orang lain. Ia membuat blog untuk berbagi informasi mengenai limfoma. Lewat blog ini, ia dipertemukan dengan beberapa survivor limfoma maupun teman yang masih berproses untuk menjalani pengobatan limfoma dan kanker lainnya. Mereka saling bertukar informasi dan pengalaman mengenai pengobatan limfoma dan saling mendukung.

“Ide tulisan berasal dari pengalaman saya semasa proses diagnosa dan pengobatan. Ada juga informasi lain yang selama ini belum banyak dibahas, misalnya pola makan selama kemoterapi. Di samping itu, teman-teman juga sering memberikan masukan ide untuk tulisan,” ujar Matilda.

Selama berjuang menghadapi sakit, Matilda pernah didera kecewa, putus asa, dan ingin menyerah. Dalam situasi itu, ia menyerahkan semua kepada kehendak Tuhan. “Dengan mengandalkan Tuhan, setiap langkah akan terasa lebih ringan dan hidup menjadi penuh syukur. Saya juga tidak lupa untuk selalu berterima kasih kepada tubuh yang sudah berjuang melawan kanker. Semakin banyak rambut yang rontok, badan kian terasa sakit, semakin banyak pula sel-sel kanker yang mati,” tuturnya.

Harapan untuk sembuh menghiasi hati Matilda. Ia berharap agar mereka yang tengah berjuang melawan kanker bisa menjadi pasien yang kritis dalam mengawal proses diagnosa dan pengobatan. “Juga selalu positif dalam menjalani pengobatan, selalu membawa setiap kesulitan dalam doa karena Tuhanlah yang akan membantu dan memandu kita untuk menemukan jawaban dari pergumulan kita,” demikian Matilda.


Dari :
Ivonne Suryanto


DOMINUS VOBIS CUM
REGARDS
RICHARDO NELSON

0 comments:

Post a Comment