Dear Admin GEMAKSI
Selama 10 tahun, ia berusaha
menerima kenyataan dan menyesuaikan diri dengan kegelapan. Kehilangan
penglihatan tak menghalanginya untuk aktif giat dalam kegiatan Gereja.
Kristian Robert Trikora menghabiskan
masa kanak-kanak dan remaja di Toraja, Sulawesi Selatan. Tahun 1981, Robert
menyelesaikan pendidikan di STM Pembangunan Makassar, Sulawesi Selatan. Lulus,
ia bekerja di bagian administrasi keuangan Bank Nasional Indonesia (BNI)
Makassar. Sambil bekerja, ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi (STIE) Yayasan Pen didikan Ujung Pandang (YPUP) Makassar (1988-1992).
Robert dipercaya sebagai analis
keuangan dan manajer. Ia berusaha untuk melakukan tugas-tugas yang di
percayakan dengan baik. Hingga suatu pagi pada 1994, bangun tidur, ia mendapati
sekelilingnya mendadak gelap. Padahal, ia baru saja dipromosikan sebagai
Pengelola Rencana Kerja dan Anggaran BNI KW 07 Makassar. Meski kehilangan
penglihatan, ia tetap datang ke kantor.
Karena penglihatannya tak kunjung
pulih, Robert pergi ke dokter spesialis mata untuk memeriksakan diri. Dokter
menyatakan, tidak diketahui secara pasti apa yang menjadi penyebab kebutaan
itu. Ia pun lantas memeriksakan diri ke dua dokter spesialis mata yang lain.
Namun, hasilnya sama. Para dokter itu angkat tangan!
Dokter ketiga yang ia datangi
memberikan rekomendasi agar Robert berobat ke Rumah Sakit Mata Jakarta Eyes
Center (JEC). Berbekal harapan ingin sembuh, Robert menjalani pengobatan di
Jakarta.
Kehilangan Kata
Usai menjalani pemeriksaan di JEC
Jakarta, dokter menyatakan bahwa Robert terkena Behcet Disease Syndrome
atau Sindroma Behcet. Penyakit ini merupakan gangguan langka yang menyebabkan
peradangan kronis pembuluh darah di seluruh tubuh. Sindroma Behcet bisa terjadi
di mulut, kulit, mata, alat kelamin, dsb. Penyebab Sindroma Behcet tidak
diketahui pasti, tetapi ada kemungkinan disebabkan oleh gangguan pada autoimun:
sistem kekebalan tubuh keliru menyerang sel tubuh yang sehat, faktor genetik, ataupun
lingkungan.
“Saya gagap … tidak bisa
berkata-kata. Saya hanya duduk terdiam ketika dokter mengatakan penyakit saya
ini penyakit langka dan belum diketahui penyebabnya. Waktu itu, saya berpikir: ya
sudahlah … berarti ini tidak bisa sembuh! Jujur, saya stres juga,” ungkap
sulung dari lima bersaudara ini.
Selama dua tahun, Robert menjalani
pemeriksaan dan pengobatan di JEC Jakarta. Karena alasan kesehatannya, lembaga
tempat ia bekerja memindah-tugaskan Robert ke kantor di Jakarta. Sementara
istrinya tetap tinggal di Makassar, karena terikat pekerjaan. Namun, pada 1996
istri dan anaknya hijrah ke Jakarta.
Medio 1996, Robert menjalani operasi
mata kanan. Setahun berselang, mata kanannya kembali dioperasi karena mengalami
ablatio retina atau retina sobek. Itupun belum cukup, operasi mata kanan
mesti ia jalani lagi untuk ketiga kalinya. Sedangkan mata kirinya dioperasi
satu kali. Namun lambat laun, Robert mengalami penurunan kemampuan penglihatan.
Kini sisa penglihatan mata kirinya hanya 20 persen. Area penglihatan menyempit
dan ia hanya bisa melihat sebesar cahaya sen ter. “Sedangkan mata kanan saya
buta,” ujar laki-laki yang dikaruniai tiga buah hati ini.
Penerimaan Diri
Robert sangat frustrasi. Ia berkeluh
kesah kepada Tuhan. Ia tidak bisa menerima kenyataan pahit ini. “Sambil
menangis, saya protes kepada Tuhan. Mengapa saya harus buta?” ujarnya.
Robert memerlukan waktu cukup lama
untuk dapat menerima kebutaan yang ia alami. “Selama 10 tahun, dari 1994 hingga
2004, saya berjuang menyesuaikan diri dengan kegelapan. Saya kembali mengenal
diri lagi secara perlahan. Saya juga mengesampingkan rasa malu dan takut untuk
keluar berjalan dengan memakai tongkat. Inilah titik awal saya mulai bergerak
keluar. Hingga kini, saya pergi ke mana-mana menggunakan tongkat,” kisah
laki-laki kelahiran Denpasar, 26 Juli 1961 ini. Pada 2006, ia memutuskan
pensiun dini dari kantornya.
Penerimaan Robert atas keadaan
dirinya berawal dari pengalaman mengikuti Kursus Evangelisasi Pribadi (KEP) di
Paroki St Bartolomeus (Sanbarto) Taman Galaxy Bekasi, Keuskupan Agung Jakarta
(KAJ). “Waktu itu, ada teman yang mengajak saya ikut KEP. Setelah ikut, hati
saya mulai terbuka akan ‘keselamatan oleh Tuhan Yesus. Saya terinspirasi oleh
Sabda Yesus: Mari ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.”
Iman saya mulai tumbuh. “Saya
kemudian mencari berbagai pemahaman tentang iman Katolik. Dulu saya ikut
kegiatan di berbagai kelompok doa karena berharap bisa melek (melihat-
Red) …,” katanya. Robert pun akhirnya berserah kepada Tuhan dan berusaha
menerima keadaannya. Dukungan istri dan anak-anaknya menguatkan Robert.
“Sekarang, mata saya ada di tongkat,
telinga, dan feeling saya …. Ke mana-mana saya menggunakan tongkat.
Banyak orang yang baik di jalan. Mereka di kirim Tuhan untuk menolong saya,”
demikian Robert merefleksikan jalan hidupnya.
Semangat untuk berkegiatan pun
bergelora di hati. Selain mengikuti KEP, Robert juga belajar selama tiga tahun
di Kursus Pendidikan Kitab Suci (KPKS) St Paulus - Lembaga Biblika Indonesia
(LBI) Jakarta. Sejak 2009 hingga sekarang, ia mengikuti Extention Course
Teologi di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta. Sementara satu
tahun terakhir ini, ia mencicipi Extention Course Filsafat di STF Driyarkara.
Tanpa ragu, Robert juga ambil bagian
dalam Tim Kerasulan Kitab Suci Paroki Sanbarto Bekasi sejak 2009. Ia rutin
menulis renungan di Media Informasi Ming guan St Bartolomeus (Mimbar). Meski
kehilangan penglihatan, ia ingin tetap bisa memberikan diri untuk Gereja dan
orang-orang di sekitarnya.
Semangatnya untuk menjadi pewartapun
terus membara. Pada Januari 2015, Robert mengikuti Sekolah Pewarta Mimbar di
Shekinah Jakarta Pusat setiap Selasa dan Jumat. Ia merekam apa yang diajarkan
dengan menggunakan alat perekam. Rekaman itu ia dengarkan di rumah. Bahan
kursus diperbesar lima kali dan dibaca menggunakan bantuan kaca pembesar.
”Untuk mengerjakan tugas, saya menggunakan komputer bicara dengan program
JAWS,” ungkap suami Lusia Ruruk ini.
Selain itu, Robert ikut berkecimpung
dalam kegiatan Laetitia, Lembaga Daya Dharma (LDD) KAJ sejak 2010. Ia juga ikut
latihan kor Laetitia seminggu sekali dan mengikuti pertemuan pijat tuna netra
se-Jabodetabek sebulan sekali. Saat latihan koor, ia menggunakan kaca pembesar
untuk membaca teks lagu. Sementara teman-teman nya di Laetitia menghafal lirik
lagu dengan jari tangan karena teks menggunakan huruf Braille.
“Karena teks lagu tanpa not, saya
merekam saat latihan dan memutar ulang re kaman ketika di rumah,” tutur pemilik
suara bas ini. Dengan keterbatasannya, ia merasa bahagia bisa mengikuti
kegiatan di Laetitia. Ia bersyukur bisa berbagi dengan sesama difabel dan
melayani sesama dengan sukacita.
Robert berusaha untuk terus
bersyukur atas semua yang ia alami. “Apa pun keadaan manusia, semuanya berharga
di mata Tuhan. Saya bersyukur atas anugerah kehidupan ini. Dalam keterbatasan
penglihatan, saya tetap menyalakan harapan agar dapat memberi ‘sesuatu’ yang
bermanfaat bagi sesama,” demikian Robert.
sekian dari kami:
Maria Pertiwi/Ivonne Suryanto
Maria Pertiwi/Ivonne Suryanto (Keluarga Kristian Robert Trikora )
DOMINUS VOBIS CUM
REGARDS
RICHARDO NELSON
Selama
10 tahun, ia berusaha menerima kenyataan dan menyesuaikan diri dengan
kegelapan. Kehilangan penglihatan tak menghalanginya untuk aktif giat
dalam kegiatan Gereja.
Kristian Robert Trikora
menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja di Toraja, Sulawesi Selatan.
Tahun 1981, Robert menyelesaikan pendidikan di STM Pembangunan Makassar,
Sulawesi Selatan. Lulus, ia bekerja di bagian administrasi keuangan
Bank Nasional Indonesia (BNI) Makassar. Sambil bekerja, ia melanjutkan
pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Yayasan Pen didikan
Ujung Pandang (YPUP) Makassar (1988-1992).
Robert
dipercaya sebagai analis keuangan dan manajer. Ia berusaha untuk
melakukan tugas-tugas yang di percayakan dengan baik. Hingga suatu pagi
pada 1994, bangun tidur, ia mendapati sekelilingnya mendadak gelap.
Padahal, ia baru saja dipromosikan sebagai Pengelola Rencana Kerja dan
Anggaran BNI KW 07 Makassar. Meski kehilangan penglihatan, ia tetap
datang ke kantor.
Karena penglihatannya tak
kunjung pulih, Robert pergi ke dokter spesialis mata untuk memeriksakan
diri. Dokter menyatakan, tidak diketahui secara pasti apa yang menjadi
penyebab kebutaan itu. Ia pun lantas memeriksakan diri ke dua dokter
spesialis mata yang lain. Namun, hasilnya sama. Para dokter itu angkat
tangan!
Dokter ketiga yang ia datangi
memberikan rekomendasi agar Robert berobat ke Rumah Sakit Mata Jakarta
Eyes Center (JEC). Berbekal harapan ingin sembuh, Robert menjalani
pengobatan di Jakarta.
Kehilangan Kata
Usai menjalani pemeriksaan di JEC Jakarta, dokter menyatakan bahwa Robert terkena Behcet Disease Syndrome
atau Sindroma Behcet. Penyakit ini merupakan gangguan langka yang
menyebabkan peradangan kronis pembuluh darah di seluruh tubuh. Sindroma
Behcet bisa terjadi di mulut, kulit, mata, alat kelamin, dsb. Penyebab
Sindroma Behcet tidak diketahui pasti, tetapi ada kemungkinan disebabkan
oleh gangguan pada autoimun: sistem kekebalan tubuh keliru menyerang
sel tubuh yang sehat, faktor genetik, ataupun lingkungan.
“Saya
gagap … tidak bisa berkata-kata. Saya hanya duduk terdiam ketika dokter
mengatakan penyakit saya ini penyakit langka dan belum diketahui
penyebabnya. Waktu itu, saya berpikir: ya sudahlah … berarti ini tidak bisa sembuh! Jujur, saya stres juga,” ungkap sulung dari lima bersaudara ini.
Selama
dua tahun, Robert menjalani pemeriksaan dan pengobatan di JEC Jakarta.
Karena alasan kesehatannya, lembaga tempat ia bekerja memindah-tugaskan
Robert ke kantor di Jakarta. Sementara istrinya tetap tinggal di
Makassar, karena terikat pekerjaan. Namun, pada 1996 istri dan anaknya
hijrah ke Jakarta.
Medio 1996, Robert menjalani operasi mata kanan. Setahun berselang, mata kanannya kembali dioperasi karena mengalami ablatio retina
atau retina sobek. Itupun belum cukup, operasi mata kanan mesti ia
jalani lagi untuk ketiga kalinya. Sedangkan mata kirinya dioperasi satu
kali. Namun lambat laun, Robert mengalami penurunan kemampuan
penglihatan. Kini sisa penglihatan mata kirinya hanya 20 persen. Area
penglihatan menyempit dan ia hanya bisa melihat sebesar cahaya sen ter.
“Sedangkan mata kanan saya buta,” ujar laki-laki yang dikaruniai tiga
buah hati ini.
Penerimaan Diri
Robert
sangat frustrasi. Ia berkeluh kesah kepada Tuhan. Ia tidak bisa
menerima kenyataan pahit ini. “Sambil menangis, saya protes kepada
Tuhan. Mengapa saya harus buta?” ujarnya.
Robert
memerlukan waktu cukup lama untuk dapat menerima kebutaan yang ia
alami. “Selama 10 tahun, dari 1994 hingga 2004, saya berjuang
menyesuaikan diri dengan kegelapan. Saya kembali mengenal diri lagi
secara perlahan. Saya juga mengesampingkan rasa malu dan takut untuk
keluar berjalan dengan memakai tongkat. Inilah titik awal saya mulai
bergerak keluar. Hingga kini, saya pergi ke mana-mana menggunakan
tongkat,” kisah laki-laki kelahiran Denpasar, 26 Juli 1961 ini. Pada
2006, ia memutuskan pensiun dini dari kantornya.
Penerimaan
Robert atas keadaan dirinya berawal dari pengalaman mengikuti Kursus
Evangelisasi Pribadi (KEP) di Paroki St Bartolomeus (Sanbarto) Taman
Galaxy Bekasi, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). “Waktu itu, ada teman yang
mengajak saya ikut KEP. Setelah ikut, hati saya mulai terbuka akan
‘keselamatan oleh Tuhan Yesus. Saya terinspirasi oleh Sabda Yesus: Mari
ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.”
Iman
saya mulai tumbuh. “Saya kemudian mencari berbagai pemahaman tentang
iman Katolik. Dulu saya ikut kegiatan di berbagai kelompok doa karena
berharap bisa melek (melihat- Red) …,” katanya. Robert pun
akhirnya berserah kepada Tuhan dan berusaha menerima keadaannya.
Dukungan istri dan anak-anaknya menguatkan Robert.
“Sekarang, mata saya ada di tongkat, telinga, dan feeling
saya …. Ke mana-mana saya menggunakan tongkat. Banyak orang yang baik
di jalan. Mereka di kirim Tuhan untuk menolong saya,” demikian Robert
merefleksikan jalan hidupnya.
Semangat untuk
berkegiatan pun bergelora di hati. Selain mengikuti KEP, Robert juga
belajar selama tiga tahun di Kursus Pendidikan Kitab Suci (KPKS) St
Paulus - Lembaga Biblika Indonesia (LBI) Jakarta. Sejak 2009 hingga
sekarang, ia mengikuti Extention Course Teologi di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta. Sementara satu tahun terakhir ini, ia mencicipi Extention Course Filsafat di STF Driyarkara.
Tanpa
ragu, Robert juga ambil bagian dalam Tim Kerasulan Kitab Suci Paroki
Sanbarto Bekasi sejak 2009. Ia rutin menulis renungan di Media Informasi
Ming guan St Bartolomeus (Mimbar). Meski kehilangan penglihatan, ia
ingin tetap bisa memberikan diri untuk Gereja dan orang-orang di
sekitarnya.
Semangatnya untuk menjadi
pewartapun terus membara. Pada Januari 2015, Robert mengikuti Sekolah
Pewarta Mimbar di Shekinah Jakarta Pusat setiap Selasa dan Jumat. Ia
merekam apa yang diajarkan dengan menggunakan alat perekam. Rekaman itu
ia dengarkan di rumah. Bahan kursus diperbesar lima kali dan dibaca
menggunakan bantuan kaca pembesar. ”Untuk mengerjakan tugas, saya
menggunakan komputer bicara dengan program JAWS,” ungkap suami Lusia
Ruruk ini.
Selain itu, Robert ikut berkecimpung
dalam kegiatan Laetitia, Lembaga Daya Dharma (LDD) KAJ sejak 2010. Ia
juga ikut latihan kor Laetitia seminggu sekali dan mengikuti pertemuan
pijat tuna netra se-Jabodetabek sebulan sekali. Saat latihan koor, ia
menggunakan kaca pembesar untuk membaca teks lagu. Sementara teman-teman
nya di Laetitia menghafal lirik lagu dengan jari tangan karena teks
menggunakan huruf Braille.
“Karena teks lagu
tanpa not, saya merekam saat latihan dan memutar ulang re kaman ketika
di rumah,” tutur pemilik suara bas ini. Dengan keterbatasannya, ia
merasa bahagia bisa mengikuti kegiatan di Laetitia. Ia bersyukur bisa
berbagi dengan sesama difabel dan melayani sesama dengan sukacita.
Robert
berusaha untuk terus bersyukur atas semua yang ia alami. “Apa pun
keadaan manusia, semuanya berharga di mata Tuhan. Saya bersyukur atas
anugerah kehidupan ini. Dalam keterbatasan penglihatan, saya tetap
menyalakan harapan agar dapat memberi ‘sesuatu’ yang bermanfaat bagi
sesama,” demikian Robert.
- See more at:
http://www.hidupkatolik.com/2015/06/04/kristian-robert-trikora-menyalakan-lilin-dalam-kegelapan#sthash.AbUHBSdn.dpuf
0 comments:
Post a Comment