DEAR ADMIN GEMAKSI
Pengalaman mati suri menyadarkannya
bahwa Tuhan telah menyapa dirinya. Sebelum terpanggil menjadi imam, ia bercita-
cita menjadi jagoan untuk membela keluarganya.
Ia terbujur kaku di atas tempat tidur
berukuran tiga kali tiga meter dengan mengenakan kemeja dan kain songket,
pakaian khas masyarakat Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sela jemarinya ia
menggenggam sebuah Rosario berwarna putih. Telinga dan hidung pun disumbat
dengan kapas agar tak mengeluarkan darah. Tubuhnya sudah dingin dan pucat. Kain
putih dan beberapa rangkaian bunga menghiasi tempat ia dibaringkan.
Di dekat tempat tidurnya, terlihat
sebuah meja berukuran sedang. Dua buah lilin, salib dan patung keluarga kudus
diletakkan di meja itu. Ayah, ibu dan saudara-saudarinya mengelilingi tempat ia
dibaringkan sambil menitikkan air mata. Sesekali terlihat keluarganya
bergantian mencium dan membisikkan kata-kata perpisahan kepadanya. Semua orang
yang hadir mengakui, Rofinus Jewarut telah meninggal tepat pukul 19.00 pada
Kamis Putih, April 2001. Misa Arwah pun diadakan di rumahnya.
Persis pada Jumat Agung, sekitar
pukul 15.00, di sela isak tangis keluarga yang hadir, Rofin tiba-tiba membuka
mata, tersenyum dan duduk di tengah-tengah mereka serta meminta makan. Melihat
anaknya hidup, sang ayah langsung memeluknya. Sementara orang-orang yang ada di
sana menjauh dengan rasa takut. Dari bagian belakang kepala Rofinus keluar
darah kental yang berbau. Beberapa menit kemudian, saudara-saudarinya baru
berani menyentuh dan memberi Rofinus makan.
Waktu itu, Rofinus merasa sedang
tidur lelap. “Saya merasa tidur paling nyenyak dan damai tanpa merasa ada sakit
pada tubuh saya. Pengalaman tidur nyenyak seperti itu tak pernah lagi saya
alami sampai sekarang,” kata Rufinus, alumnus Seminari Menengah St Paulus
Mataloko, Flores ini.
Menjadi Jagoan
Rofin, sapaannya, lahir di Hawut,
sebuah kampung kecil di Flores Barat. Di tengah kesulitan ekonomi yang melanda,
orangtua Rofin tetap memperhatikan pendidikan anak-anak mereka. Setamat SMP St
Stefanus Ketang, Ruteng, Rofinus melanjutkan sekolah ke SMA St Klaus Kuwu,
Ruteng. Karena kesulitan ekonomi yang menghimpit keluarganya, ia tak bisa
membeli seragam sekolah dan sepatu. Syukurlah ada kebijakan baru di sekolahnya.
Mereka yang tak mampu, boleh mengenakan pakaian bebas, bahkan tanpa sepatu ke
sekolah. Sementara mereka yang mampu, dianjurkan untuk memakai seragam dan
sepatu.
Situasi krisis yang melanda
menciptakan kesedihan bagi banyak keluarga di kampung halaman Rofinus. Situasi
itu berbalik menjadi kegembiraan kala ada kunjungan Romo Paroki. Begitu pula
bagi Rofin. Ia merasa gembira ketika Romo Stanislaus O’Grabek SVD berkunjung ke
sekolahnya.
Tiap kali Romo Stanis mengunjungi
sekolah Rofin, anak-anak pun diliburkan. Paling mengesankan adalah ketika
mereka diberi kesempatan untuk bersalaman dengan Romo. “Ketika kami menyentuh
tangan Romo Stanis, rasanya bahagia sekali,” kata Staf Ekonom Serikat Maria
Montfortan (SMM) Provinsi Indonesia di Bandung ini. Pengalaman kecil tersebut
terkenang kuat dalam hati Rofin. Sapaan dan ketulusan Romo Stanis itu
meninggalkan kesan tersendiri baginya. Sejak itu, benih panggilan untuk menjadi
imam pun mulai bersemi.
Namun, situasi ekonomi dan keterbatasan
akses informasi mengenai pendaftaran masuk Seminari Menengah menjadi hambatan
bagi Rofin. Belum lagi banyak orang di kampungnya berusaha mencari penghidupan
layak dengan berbondong- bondong membuka lahan untuk bercocok tanam. Akibatnya,
sebagian masyarakat terlibat perang berebut lahan.
“Keluarga saya mendapat banyak
tekanan dari warga kampung karena dipandang memboikot atau tidak mau terlibat
dalam perang berebut lahan. Mimpi saya untuk menjadi imam pun perlahan-lahan
luntur,” ujarnya. Hidup doa kian menurun. Pengalaman menjadi misdinar, rajin ke
gereja, berdoa Rosario seperti saat di SMP, pupus seiring banyaknya tekanan
saat itu.
Rofin lebih banyak menghabiskan
waktu untuk berlatih bela diri. Ia belajar kempo dan taekwondo. Belum juga
puas, ia mengikuti bela diri Tunggal Hati Seminari-Tunggal Hati Maria
(THS-THM). “Semuanya saya lakukan dengan tujuan untuk menjadi seorang petarung
yang hebat guna melindungi keluarga saya,” ungkap Romo kelahiran 11 Februari
1981 ini.
Cita-cita menjadi jagoan ini semata
murni mengandalkan kekuatan fisik. Kala ia mengikuti bela diri THS-THM, ada
keseimbangan antara latihan fisik dan latihan rohani. “Bela diri inilah yang
kemudian mengubah cara pandang saya dan cara hidup saya bahwa seharusnya fisik
dan rohani selaras,” ujarnya. Dari pengalaman itu, keinginan menjadi imam pun
merekah kembali.
Lewat perjumpaan dengan Romo
Franciscus Borgias Trihandoko SMM, Rofin mendapat informasi tentang komunitas
SMM. “Seminggu setelah perjumpaan itu, saya mengirim lamaran ke pimpinan SMM.
Dan tak lama kemudian, saya dipanggil untuk mengikuti tes tertulis dan
wawancara,” kenangnya.
Mati Suri
Usai mengikuti tes tertulis dan
wawancara masuk biara SMM, Rofin merasa leher seperti dicekik dan badan panas.
Suaranya menjadi parau, sulit untuk menelan makanan dan minuman. Menurut
orang-orang, ia disantet. Ia lalu diantar ke dukun untuk diobati, tapi tidak
berhasil. Sehari berlalu, tak ada tanda-tanda perubahan.
Kemudian, Rofin dibawa ke seorang
ibu. Jawabannya sama, yakni Rofin disantet. Setelah sekitar satu minggu tinggal
di rumah ibu itu tanpa makan dan minum, ia dibawa ke seorang pendoa. Pendoa itu
menyarankan agar Rofin dibawa kepada Romo Paroki untuk didoakan dan diperciki
dengan air suci. Tanpa menunggu lama, ia dibawa ke pastoran. Kala itu, pastor
yang ada di paroki adalah (kini sudah almarhum) Romo Zakarias Jehadun. Ia
mendoakan dan memberkati Rofin. Lalu, Romo Zakarias meminta agar Rofin segera
dibawa ke rumah sakit.
Dari hasil pemeriksaan, dokter
menyimpulkan Rofin terkena penyakit tetanus. “Pekan pertama, saya merasa
sedikit mengalami perubahan. Masuk pekan kedua dan seterusnya, kondisi fisik
saya justru semakin menurun,” tuturnya. Keluarga panik dan bingung. Keluarga
kemudian memutuskan untuk membawanya pulang dan diobati secara tradisional.
Selama tiga bulan, Rofin mendapat
pengobatan tradisional. Namun, kondisinya tak kunjung membaik. Akhir Maret
2001, pada masa Prapaskah, keluarganya merasa lelah dan putus asa. “Mereka
menunggu keputusan Tuhan saja. Satu-satunya harapan terakhir mereka adalah
penyelenggaraan Tuhan,” ujarnya. Siang malam keluarganya terus mendaraskan doa
penyerahan kepada Hati Kudus Yesus, Doa Novena Tiga Salam Maria, dan
merenungkan Jalan Salib Tuhan.
Pada Kamis Putih April 2001 pukul
19.00 Rofin dinyatakan meninggal dunia oleh keluarga dan masyarakat di
kampungnya. Namun keesokkan harinya, Jumat, sekitar pukul 15.00 Rofin hidup
kembali. Ia mengalami mati suri.
Rahmat Allah
Beberapa hari setelah peristiwa mati
suri itu, Rofin kembali bersekolah dan mengikuti ujian susulan SMA. Sebulan
berselang, ia menerima surat dari pimpinan SMM bahwa ia diterima menjadi calon
imam SMM. Ia menerima tahbisan imamat pada 6 Juli 2012 di Labuan Bajo,
Keuskupan Ruteng.
Pengalaman mati suri turut
menguatkan keyakinan Rofin akan pilihan hidup menjadi seorang imam. “Meski ada
banyak tantangan dan masalah, saya tidak berpikir untuk melepaskan imamat ini.
Justru sebaliknya, saya diteguhkan oleh pengalaman istimewa tersebut,”
tuturnya.
Bagi Romo Rofin, pengalaman mati
suri juga merupakan tanda bukti rahmat Allah yang tak dapat diterangkan dengan
akal sehat manusia. “Saya tidak takut akan apa yang terjadi dalam hidup ini dan
akan ke mana hidup ini pergi. Tuhan pasti akan memelihara, mengarahkan ke mana
Ia telah menyediakan tempat,” tandasnya seturut mengutip Injil Yoh 14:1-6.
“Kekuasaan Tuhan melampaui apa saja
yang ada di atas bumi ini. Bahkan kekuatan Tuhan bisa membuat orang mati
menjadi hidup kembali,” demikian refleksi Romo Rofin.
Dari
Yustinus Hendro Wuarmanuk
(NUSA TENGGARA TIMUR)
Dominus Vobis Cum
Ragards
Richardo Nelson
Yustinus Hendro Wuarmanuk
Yustinus Hendro Wuarmanuk
0 comments:
Post a Comment