Sunday, 14 June 2015

Kesaksian Romo Rofinus Jewarut SMM: Rahmat Mati Suri


DEAR ADMIN GEMAKSI




Pengalaman mati suri menyadarkannya bahwa Tuhan telah menyapa dirinya. Sebelum terpanggil menjadi imam, ia bercita- cita menjadi jagoan untuk membela keluarganya.

Ia terbujur kaku di atas tempat tidur berukuran tiga kali tiga meter dengan mengenakan kemeja dan kain songket, pakaian khas masyarakat Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sela jemarinya ia menggenggam sebuah Rosario berwarna putih. Telinga dan hidung pun disumbat dengan kapas agar tak mengeluarkan darah. Tubuhnya sudah dingin dan pucat. Kain putih dan beberapa rangkaian bunga menghiasi tempat ia dibaringkan.

Di dekat tempat tidurnya, terlihat sebuah meja berukuran sedang. Dua buah lilin, salib dan patung keluarga kudus diletakkan di meja itu. Ayah, ibu dan saudara-saudarinya mengelilingi tempat ia dibaringkan sambil menitikkan air mata. Sesekali terlihat keluarganya bergantian mencium dan membisikkan kata-kata perpisahan kepadanya. Semua orang yang hadir mengakui, Rofinus Jewarut telah meninggal tepat pukul 19.00 pada Kamis Putih, April 2001. Misa Arwah pun diadakan di rumahnya.

Persis pada Jumat Agung, sekitar pukul 15.00, di sela isak tangis keluarga yang hadir, Rofin tiba-tiba membuka mata, tersenyum dan duduk di tengah-tengah mereka serta meminta makan. Melihat anaknya hidup, sang ayah langsung memeluknya. Sementara orang-orang yang ada di sana menjauh dengan rasa takut. Dari bagian belakang kepala Rofinus keluar darah kental yang berbau. Beberapa menit kemudian, saudara-saudarinya baru berani menyentuh dan memberi Rofinus makan.

Waktu itu, Rofinus merasa sedang tidur lelap. “Saya merasa tidur paling nyenyak dan damai tanpa merasa ada sakit pada tubuh saya. Pengalaman tidur nyenyak seperti itu tak pernah lagi saya alami sampai sekarang,” kata Rufinus, alumnus Seminari Menengah St Paulus Mataloko, Flores ini.

Menjadi Jagoan
Rofin, sapaannya, lahir di Hawut, sebuah kampung kecil di Flores Barat. Di tengah kesulitan ekonomi yang melanda, orangtua Rofin tetap memperhatikan pendidikan anak-anak mereka. Setamat SMP St Stefanus Ketang, Ruteng, Rofinus melanjutkan sekolah ke SMA St Klaus Kuwu, Ruteng. Karena kesulitan ekonomi yang menghimpit keluarganya, ia tak bisa membeli seragam sekolah dan sepatu. Syukurlah ada kebijakan baru di sekolahnya. Mereka yang tak mampu, boleh mengenakan pakaian bebas, bahkan tanpa sepatu ke sekolah. Sementara mereka yang mampu, dianjurkan untuk memakai seragam dan sepatu.

Situasi krisis yang melanda menciptakan kesedihan bagi banyak keluarga di kampung halaman Rofinus. Situasi itu berbalik menjadi kegembiraan kala ada kunjungan Romo Paroki. Begitu pula bagi Rofin. Ia merasa gembira ketika Romo Stanislaus O’Grabek SVD berkunjung ke sekolahnya.

Tiap kali Romo Stanis mengunjungi sekolah Rofin, anak-anak pun diliburkan. Paling mengesankan adalah ketika mereka diberi kesempatan untuk bersalaman dengan Romo. “Ketika kami menyentuh tangan Romo Stanis, rasanya bahagia sekali,” kata Staf Ekonom Serikat Maria Montfortan (SMM) Provinsi Indonesia di Bandung ini. Pengalaman kecil tersebut terkenang kuat dalam hati Rofin. Sapaan dan ketulusan Romo Stanis itu meninggalkan kesan tersendiri baginya. Sejak itu, benih panggilan untuk menjadi imam pun mulai bersemi.

Namun, situasi ekonomi dan keterbatasan akses informasi mengenai pendaftaran masuk Seminari Menengah menjadi hambatan bagi Rofin. Belum lagi banyak orang di kampungnya berusaha mencari penghidupan layak dengan berbondong- bondong membuka lahan untuk bercocok tanam. Akibatnya, sebagian masyarakat terlibat perang berebut lahan.

“Keluarga saya mendapat banyak tekanan dari warga kampung karena dipandang memboikot atau tidak mau terlibat dalam perang berebut lahan. Mimpi saya untuk menjadi imam pun perlahan-lahan luntur,” ujarnya. Hidup doa kian menurun. Pengalaman menjadi misdinar, rajin ke gereja, berdoa Rosario seperti saat di SMP, pupus seiring banyaknya tekanan saat itu.

Rofin lebih banyak menghabiskan waktu untuk berlatih bela diri. Ia belajar kempo dan taekwondo. Belum juga puas, ia mengikuti bela diri Tunggal Hati Seminari-Tunggal Hati Maria (THS-THM). “Semuanya saya lakukan dengan tujuan untuk menjadi seorang petarung yang hebat guna melindungi keluarga saya,” ungkap Romo kelahiran 11 Februari 1981 ini.

Cita-cita menjadi jagoan ini semata murni mengandalkan kekuatan fisik. Kala ia mengikuti bela diri THS-THM, ada keseimbangan antara latihan fisik dan latihan rohani. “Bela diri inilah yang kemudian mengubah cara pandang saya dan cara hidup saya bahwa seharusnya fisik dan rohani selaras,” ujarnya. Dari pengalaman itu, keinginan menjadi imam pun merekah kembali.

Lewat perjumpaan dengan Romo Franciscus Borgias Trihandoko SMM, Rofin mendapat informasi tentang komunitas SMM. “Seminggu setelah perjumpaan itu, saya mengirim lamaran ke pimpinan SMM. Dan tak lama kemudian, saya dipanggil untuk mengikuti tes tertulis dan wawancara,” kenangnya.

Mati Suri
Usai mengikuti tes tertulis dan wawancara masuk biara SMM, Rofin merasa leher seperti dicekik dan badan panas. Suaranya menjadi parau, sulit untuk menelan makanan dan minuman. Menurut orang-orang, ia disantet. Ia lalu diantar ke dukun untuk diobati, tapi tidak berhasil. Sehari berlalu, tak ada tanda-tanda perubahan.

Kemudian, Rofin dibawa ke seorang ibu. Jawabannya sama, yakni Rofin disantet. Setelah sekitar satu minggu tinggal di rumah ibu itu tanpa makan dan minum, ia dibawa ke seorang pendoa. Pendoa itu menyarankan agar Rofin dibawa kepada Romo Paroki untuk didoakan dan diperciki dengan air suci. Tanpa menunggu lama, ia dibawa ke pastoran. Kala itu, pastor yang ada di paroki adalah (kini sudah almarhum) Romo Zakarias Jehadun. Ia mendoakan dan memberkati Rofin. Lalu, Romo Zakarias meminta agar Rofin segera dibawa ke rumah sakit.

Dari hasil pemeriksaan, dokter menyimpulkan Rofin terkena penyakit tetanus. “Pekan pertama, saya merasa sedikit mengalami perubahan. Masuk pekan kedua dan seterusnya, kondisi fisik saya justru semakin menurun,” tuturnya. Keluarga panik dan bingung. Keluarga kemudian memutuskan untuk membawanya pulang dan diobati secara tradisional.

Selama tiga bulan, Rofin mendapat pengobatan tradisional. Namun, kondisinya tak kunjung membaik. Akhir Maret 2001, pada masa Prapaskah, keluarganya merasa lelah dan putus asa. “Mereka menunggu keputusan Tuhan saja. Satu-satunya harapan terakhir mereka adalah penyelenggaraan Tuhan,” ujarnya. Siang malam keluarganya terus mendaraskan doa penyerahan kepada Hati Kudus Yesus, Doa Novena Tiga Salam Maria, dan merenungkan Jalan Salib Tuhan.

Pada Kamis Putih April 2001 pukul 19.00 Rofin dinyatakan meninggal dunia oleh keluarga dan masyarakat di kampungnya. Namun keesokkan harinya, Jumat, sekitar pukul 15.00 Rofin hidup kembali. Ia mengalami mati suri.

Rahmat Allah
Beberapa hari setelah peristiwa mati suri itu, Rofin kembali bersekolah dan mengikuti ujian susulan SMA. Sebulan berselang, ia menerima surat dari pimpinan SMM bahwa ia diterima menjadi calon imam SMM. Ia menerima tahbisan imamat pada 6 Juli 2012 di Labuan Bajo, Keuskupan Ruteng.

Pengalaman mati suri turut menguatkan keyakinan Rofin akan pilihan hidup menjadi seorang imam. “Meski ada banyak tantangan dan masalah, saya tidak berpikir untuk melepaskan imamat ini. Justru sebaliknya, saya diteguhkan oleh pengalaman istimewa tersebut,” tuturnya.

Bagi Romo Rofin, pengalaman mati suri juga merupakan tanda bukti rahmat Allah yang tak dapat diterangkan dengan akal sehat manusia. “Saya tidak takut akan apa yang terjadi dalam hidup ini dan akan ke mana hidup ini pergi. Tuhan pasti akan memelihara, mengarahkan ke mana Ia telah menyediakan tempat,” tandasnya seturut mengutip Injil Yoh 14:1-6.

“Kekuasaan Tuhan melampaui apa saja yang ada di atas bumi ini. Bahkan kekuatan Tuhan bisa membuat orang mati menjadi hidup kembali,” demikian refleksi Romo Rofin.



Dari 
Yustinus Hendro Wuarmanuk
 (NUSA TENGGARA TIMUR)



Dominus Vobis Cum

Ragards
Richardo Nelson


 

Yustinus Hendro Wuarmanuk




Yustinus Hendro Wuarmanuk

0 comments:

Post a Comment