Pada hari ulang tahun yang
membahagiakan, tiba-tiba kedua kaki perempuan single parent ini tak bisa
digerakkan. Ia berjuang untuk bisa berjalan kembali setapak demi setapak
Hari itu, 3 Agustus 2012, rumah
Veronika Hadi Purwantini nampak ramai. Titin sapaannya, merayakan Hari Ulang
Tahun ke-47 sehingga saudara dan keluarganya berkumpul. Hari itu adalah hari
bahagia.
Namun, kebahagiaan itu pudar.
Tiba-tiba Titin tak dapat menggerakkan kedua kakinya. Dua buah hatinya pun
memapah Titin menuju ruang tamu. Sedih, bingung dan gelisah campur aduk di hati
Titin. Ia tak menyangka pada perayaan hari lahirnya, ia justru mendapat “kado”
kelumpuhan kaki.
“Saya bertanya dalam hati, akankah
saya cacat selamanya? Apakah saya sanggup melewati perjalanan hidup nantinya
dengan kuat dan sabar? Sangatlah mustahil menerima kenyataan pahit ini …. Saya
belum siap Tuhan. Kasihanilah dan tolonglah saya, izinkanlah saya pulih
kembali,” demikian pinta Titin dalam doanya.
Ada khawatir dan bimbang yang
menyelinap di hati Titin akan masa depan hidupnya dan buah hatinya. Apalagi ia
adalah single parent, sejak sang suami meninggal pada 2005 karena
diabetes.
Titin merasa tidak sanggup
menghadapi kelumpuhan ini. Terlintas dalam benak nya, kelumpuhan itu pasti akan
membatasi lingkup gerak dan aktivitas Titin sebagai guru. Pun dalam berbagai
kegiatan di lingkungan dan Gereja yang ia libati: menjadi lektor dan guru
Sekolah Minggu.
Pada saat itu Titin juga merupakan
Sekretaris Seksi Panggilan Paroki Hati Kudus Kramat yang merangkap sebagai
Sekretaris Seksi Panggilan Dekenat Pusat Keuskupan Agung Jakarta. Selain itu
dia aktif dalam keanggotaan Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Paroki
Kramat. Semua aktifitas gereja ini dia jalani di tengah kesibukannya sebagai
guru di SD Melania 1 Jakarta.
Masuk ICU
Sebelum pesta ulang tahunnya, Titin
jatuh di jalan, tak jauh dari rumahnya. Waktu itu, ia merasakan tubuhnya terasa
amat lemas, kepala pusing, dan tenggorokan sakit. Setelah turun dari angkutan
umum yang ia tumpangi, Titin tak kuasa lagi menahan berat tubuhnya. Untunglah
putranya segera datang dan memapah Titin menuju rumah.
Buah hatinya membawa Titin untuk
berobat ke dokter terdekat. Tetapi, kondisi kesehatan Titin tak kunjung membaik.
Ia merasakan bibirnya menebal dan mati rasa. Tangan dan kaki juga mengalami
kesemutan. Namun, saat itu ia masih bisa menggerakkan tubuh, tangan, dan
kakinya. “Saya bersyukur karena masih bisa menggerakkan tubuh, walaupun semakin
melemah,” ujar Titin. Rasa syukur itu seakan sirna, kala tiba-tiba kedua
kakinya tak dapat digerakkan.
Sehari setelah ulang tahunnya, pada
malam hari, Titin dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD) RS Saint Carolus Jakarta.
Wajahnya semakin pucat dan bibirnya miring. Karena tidak ada kamar kosong, ia
dibawa ke RS Premier Jakarta Timur. Dokter saraf yang memeriksa Titin
mengatakan bahwa ia menderita Guillain Bare Syndrome (GBS).
GBS adalah peradangan akut yang
menyebabkan kerusakan sel saraf tanpa penyebab yang jelas. Sindrom ini ditemukan
Georges Guillain, Jean-Alexandre Barré, dan André Strohl, pada 1916. Mereka
menemukan sindrom ini pada dua tentara yang menderita peningkatan produksi
protein cairan otak yang abnormal.
Dalam kondisi normal, tubuh akan
menghasilkan antibodi yang berfungsi untuk melawan antigen atau zat yang
merusak tubuh ketika tubuh terinfeksi penyakit, virus, maupun bakteri. Namun
pada kasus GBS, antibodi yang seharusnya melindungi tubuh justru menyerang
sistem saraf tepi dan menyebabkan kerusakan pada sel saraf. Kerusakan tersebut
akan menyebabkan kelumpuhan motorik dan gangguan sensibilitas bagi penderita
GBS.
Untuk membantu pernafasan, Titin
memakai alat ventilator atau alat bantu pernafasan. Titin merasakan tubuhnya
semakin lemah sehingga ia pingsan. Lalu, ia dipindah keruang Intensive Care
Unit (ICU). Keadaannya kian memburuk. Keluarga Titin meminta imam untuk
memberinya Sakramen Pengurapan Orang Sakit.
Dalam ketidakberdayaan, Titin
menyebut nama Yesus dalam hatinya. Ia seolah merasakan kehadiran Yesus di
dekatnya, di ruang ICU, dalam kelemahan fisik yang ia alami. Titin dapat
merasakan hatinya tenang sehingga bisa tertidur.
Selama tiga minggu, Titin berada di
ruang ICU. Walau di ruang ICU bersuhu dingin, tubuhnya sama sekali tidak
merasakan dingin sedikitpun. Bahkan, ia sempat tidur berbantal tiga balok es
sebesar batu bata yang dibungkus dengan kain.
Seiring bergulirnya waktu, kondisi
Titin berangsur-angsur membaik hingga akhirnya dokter mengizinkannya pulang.
Perjuangan pemulihan kondisi kesehatan Titin di lanjutkan di rumah.
Ketika diizinkan pulang, Titin hanya
mampu menggerakkan ujung-ujung telapak kaki dan mengangkat lengannya. Tubuhnya
seperti tidak berotot dan tidak bertenaga. Untuk melakukan segala sesuatu,
Titin memerlukan bantuan orang lain. Ia bersyukur atas bantuan dan kasih sayang
dari putra dan putrinya, serta sanak sudaranya yang lain.
“Saya berterima kasih kepada Tuhan,
setiap kali ada kemajuan positif dalam saraf motorikku. Saya menikmati hari
demi hari perkembangan motorikku, karena kutahu Tuhan mendampingiku,” ungkap
putri keempat dari sembilan bersaudara pasangan Johanes Sidik Prajitno dan
Theresia Mint Sumarmi ini.
Kasih Setia Tuhan
Menghadapi sakit, Titin menguatkan
diri dengan doa dan mengimani kutipan dari Mazmur 13:6 : “Kepada kasih setia-
Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak ka rena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi
untuk Tuhan, karena Ia telah berbuat baik kepadaku.”
Saat menjalani terapi demi terapi
Titin terus berserah dalam doa. Hanya iman akan Yesus dalam doalah yang menjadi
kekuatan untuk menjalani segala usaha memperoleh kesembuhan. “Tuhan, tolonglah
saya agar melalui terapi ini, saya bisa menjadi lebih baik. Saya percaya bahwa
doa-doa saya didengar oleh-Nya. Karena, setiap orang berharga di mata- Nya seperti
tertulis dalam Kitab Yesaya 49:16: Aku telah melukiskan engkau di telapak
tangan-Ku,” tutur Titin.
Titin mulai belajar menggunakan
kursi roda dan belajar berjalan dengan walker (tongkat). Setapak demi
setapak ia berjuang menguatkan langkah dan juga harapannya. Dan suatu ketika,
betapa bahagia hatinya, ia bisa berjalan walau perlahan.
Tiga bulan berselang, akhir November
2012, Titin bisa berjalan tanpa bantuan kur si roda atau tongkat. Batinnya
melonjak girang ketika pada Desember 2012 ia bisa mengikuti Misa Malam Natal
bersama dua buah hatinya. “Walaupun lang kah saya belum bisa cepat, namun saya
sangat bersyukur untuk kesempatan indah mengikuti Misa,” kisahnya.
Bagi Titin, apa yang terjadi dalam
hidupnya - termasuk sakit - merupakan cara Tuhan menyayanginya. Sekecil apapun
kemajuan dalam memperoleh kesembuhan ia refleksikan sebagai anugerah kasih
terindah dari Tuhan. Ia percaya, tiada sesuatupun yang mustahil bagi Tuhan.
Segalanya bisa diubah menjadi kebaikan bagi umat-Nya.
“Tiada masalah yang tidak teratasi,
apabila kita selalu menyertakan Tuhan di dalam kehidupan kita. Berimanlah terus
kepada Tuhan yang sangat mencintai umat-Nya,” demikian Titin.
Dari :
Ivonne Suryanto
DOMINUS VOBIS CUM
REGARDS
RICHARDO NELSON