Saturday 27 June 2015

Veronika Hadi Purwantini: Bersyukur atas Anugerah Sakit


Dear GEMAKSI




Pada hari ulang tahun yang membahagiakan, tiba-tiba kedua kaki perempuan single parent ini tak bisa digerakkan. Ia berjuang untuk bisa berjalan kembali setapak demi setapak

Hari itu, 3 Agustus 2012, rumah Veronika Hadi Purwantini nampak ramai. Titin sapaannya, merayakan Hari Ulang Tahun ke-47 sehingga saudara dan keluarganya berkumpul. Hari itu adalah hari bahagia.

Namun, kebahagiaan itu pudar. Tiba-tiba Titin tak dapat menggerakkan kedua kakinya. Dua buah hatinya pun memapah Titin menuju ruang tamu. Sedih, bingung dan gelisah campur aduk di hati Titin. Ia tak menyangka pada perayaan hari lahirnya, ia justru mendapat “kado” kelumpuhan kaki.

“Saya bertanya dalam hati, akankah saya cacat selamanya? Apakah saya sanggup melewati perjalanan hidup nantinya dengan kuat dan sabar? Sangatlah mustahil menerima kenyataan pahit ini …. Saya belum siap Tuhan. Kasihanilah dan tolonglah saya, izinkanlah saya pulih kembali,” demikian pinta Titin dalam doanya.

Ada khawatir dan bimbang yang menyelinap di hati Titin akan masa depan hidupnya dan buah hatinya. Apalagi ia adalah single parent, sejak sang suami meninggal pada 2005 karena diabetes.

Titin merasa tidak sanggup menghadapi kelumpuhan ini. Terlintas dalam benak nya, kelumpuhan itu pasti akan membatasi lingkup gerak dan aktivitas Titin sebagai guru. Pun dalam berbagai kegiatan di lingkungan dan Gereja yang ia libati: menjadi lektor dan guru Sekolah Minggu.

Pada saat itu Titin juga merupakan Sekretaris Seksi Panggilan Paroki Hati Kudus Kramat yang merangkap sebagai Sekretaris Seksi Panggilan Dekenat Pusat Keuskupan Agung Jakarta. Selain itu dia aktif dalam keanggotaan Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Paroki Kramat. Semua aktifitas gereja ini dia jalani di tengah kesibukannya sebagai guru di SD Melania 1 Jakarta.

Masuk ICU
Sebelum pesta ulang tahunnya, Titin jatuh di jalan, tak jauh dari rumahnya. Waktu itu, ia merasakan tubuhnya terasa amat lemas, kepala pusing, dan tenggorokan sakit. Setelah turun dari angkutan umum yang ia tumpangi, Titin tak kuasa lagi menahan berat tubuhnya. Untunglah putranya segera datang dan memapah Titin menuju rumah.

Buah hatinya membawa Titin untuk berobat ke dokter terdekat. Tetapi, kondisi kesehatan Titin tak kunjung membaik. Ia merasakan bibirnya menebal dan mati rasa. Tangan dan kaki juga mengalami kesemutan. Namun, saat itu ia masih bisa menggerakkan tubuh, tangan, dan kakinya. “Saya bersyukur karena masih bisa menggerakkan tubuh, walaupun semakin melemah,” ujar Titin. Rasa syukur itu seakan sirna, kala tiba-tiba kedua kakinya tak dapat digerakkan.

Sehari setelah ulang tahunnya, pada malam hari, Titin dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD) RS Saint Carolus Jakarta. Wajahnya semakin pucat dan bibirnya miring. Karena tidak ada kamar kosong, ia dibawa ke RS Premier Jakarta Timur. Dokter saraf yang memeriksa Titin mengatakan bahwa ia menderita Guillain Bare Syndrome (GBS).

GBS adalah peradangan akut yang menyebabkan kerusakan sel saraf tanpa penyebab yang jelas. Sindrom ini ditemukan Georges Guillain, Jean-Alexandre Barré, dan André Strohl, pada 1916. Mereka menemukan sindrom ini pada dua tentara yang menderita peningkatan produksi protein cairan otak yang abnormal.

Dalam kondisi normal, tubuh akan menghasilkan antibodi yang berfungsi untuk melawan antigen atau zat yang merusak tubuh ketika tubuh terinfeksi penyakit, virus, maupun bakteri. Namun pada kasus GBS, antibodi yang seharusnya melindungi tubuh justru menyerang sistem saraf tepi dan menyebabkan kerusakan pada sel saraf. Kerusakan tersebut akan menyebabkan kelumpuhan motorik dan gangguan sensibilitas bagi penderita GBS.

Untuk membantu pernafasan, Titin memakai alat ventilator atau alat bantu pernafasan. Titin merasakan tubuhnya semakin lemah sehingga ia pingsan. Lalu, ia dipindah keruang Intensive Care Unit (ICU). Keadaannya kian memburuk. Keluarga Titin meminta imam untuk memberinya Sakramen Pengurapan Orang Sakit.

Dalam ketidakberdayaan, Titin menyebut nama Yesus dalam hatinya. Ia seolah merasakan kehadiran Yesus di dekatnya, di ruang ICU, dalam kelemahan fisik yang ia alami. Titin dapat merasakan hatinya tenang sehingga bisa tertidur.

Selama tiga minggu, Titin berada di ruang ICU. Walau di ruang ICU bersuhu dingin, tubuhnya sama sekali tidak merasakan dingin sedikitpun. Bahkan, ia sempat tidur berbantal tiga balok es sebesar batu bata yang dibungkus dengan kain.

Seiring bergulirnya waktu, kondisi Titin berangsur-angsur membaik hingga akhirnya dokter mengizinkannya pulang. Perjuangan pemulihan kondisi kesehatan Titin di lanjutkan di rumah.

Ketika diizinkan pulang, Titin hanya mampu menggerakkan ujung-ujung telapak kaki dan mengangkat lengannya. Tubuhnya seperti tidak berotot dan tidak bertenaga. Untuk melakukan segala sesuatu, Titin memerlukan bantuan orang lain. Ia bersyukur atas bantuan dan kasih sayang dari putra dan putrinya, serta sanak sudaranya yang lain.

“Saya berterima kasih kepada Tuhan, setiap kali ada kemajuan positif dalam saraf motorikku. Saya menikmati hari demi hari perkembangan motorikku, karena kutahu Tuhan mendampingiku,” ungkap putri keempat dari sembilan bersaudara pasangan Johanes Sidik Prajitno dan Theresia Mint Sumarmi ini.

Kasih Setia Tuhan
Menghadapi sakit, Titin menguatkan diri dengan doa dan mengimani kutipan dari Mazmur 13:6 : “Kepada kasih setia- Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak ka rena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk Tuhan, karena Ia telah berbuat baik kepadaku.”

Saat menjalani terapi demi terapi Titin terus berserah dalam doa. Hanya iman akan Yesus dalam doalah yang menjadi kekuatan untuk menjalani segala usaha memperoleh kesembuhan. “Tuhan, tolonglah saya agar melalui terapi ini, saya bisa menjadi lebih baik. Saya percaya bahwa doa-doa saya didengar oleh-Nya. Karena, setiap orang berharga di mata- Nya seperti tertulis dalam Kitab Yesaya 49:16: Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku,” tutur Titin.

Titin mulai belajar menggunakan kursi roda dan belajar berjalan dengan walker (tongkat). Setapak demi setapak ia berjuang menguatkan langkah dan juga harapannya. Dan suatu ketika, betapa bahagia hatinya, ia bisa berjalan walau perlahan.

Tiga bulan berselang, akhir November 2012, Titin bisa berjalan tanpa bantuan kur si roda atau tongkat. Batinnya melonjak girang ketika pada Desember 2012 ia bisa mengikuti Misa Malam Natal bersama dua buah hatinya. “Walaupun lang kah saya belum bisa cepat, namun saya sangat bersyukur untuk kesempatan indah mengikuti Misa,” kisahnya.

Bagi Titin, apa yang terjadi dalam hidupnya - termasuk sakit - merupakan cara Tuhan menyayanginya. Sekecil apapun kemajuan dalam memperoleh kesembuhan ia refleksikan sebagai anugerah kasih terindah dari Tuhan. Ia percaya, tiada sesuatupun yang mustahil bagi Tuhan. Segalanya bisa diubah menjadi kebaikan bagi umat-Nya.

“Tiada masalah yang tidak teratasi, apabila kita selalu menyertakan Tuhan di dalam kehidupan kita. Berimanlah terus kepada Tuhan yang sangat mencintai umat-Nya,” demikian Titin.



 Dari :

Ivonne Suryanto



DOMINUS VOBIS CUM
REGARDS
RICHARDO NELSON


Saturday 20 June 2015

Matilda Narulita: Berbagi dan Berjuang dengan Kanker




Dear GEMAKSI

Matilda Narulita, sulung dari dua bersaudara. Pada 2005, ia mulai menempuh pendidikan di Fakultas Teknik Kimia, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Selama masa kuliah, ia aktif dalam kegiatan Keluarga Mahasiswa Teknik Kimia UGM dan Badan Pers Entropi. Ia juga senang mengikuti kegiatan sosial, seperti Blood for Life dan gerakan sosial yang memiliki misi membantu pihak-pihak yang kesulitan mendapatkan donor darah.

Lulus kuliah, Matilda magang sebagai production engineer di VICO Indonesia - perusahaan minyak dan gas di Kutainegara, Kalimantan Timur. Ia magang Juli hingga Oktober 2010.

Suatu hari, pada November 2010, Matilda mengunjungi website Indonesia Mengajar. Ia tersentak dengan kata-kata Anies Baswedan, penggagas “Indonesia Mengajar”: “Stop cursing the darkness. Let’s light the candle” (Berhentilah mengutuk kegelapan. Marilah menyalakan lilin). “Saya menjadi tertantang dan akhirnya memutuskan untuk keluar dari zona nyaman saya dengan mengikuti program itu (Indonesia Mengajar, Red). Saya ingin melakukan hal nyata untuk masyarakat melalui pendidikan, yang merupakan kunci pembangunan suatu bangsa,” kata perempuan yang pernah menjadi delegasi Indonesia di APEC Youth Camp, Peru, ini.

Kemudian, Matilda mendaftar diri. Pada Maret 2011, bersama beberapa peserta pendaftar “Indonesia Mengajar” di Yogyakarta, ia mendirikan Komunitas Jendela. Komunitas ini bergerak dalam bidang pendidikan anak. Program pertama mereka adalah mendirikan perpustakaan bagi anak-anak di Shelter Gondang 1, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, tempat hunian sementara bagi korban erupsi Merapi.

Selang sebulan, Matilda mendapat tempat untuk mengajar di Desa Lamdesar Barat, Kecamatan Tanimbar Utara, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Selama satu tahun empat bulan, ia melayani sebagai salah satu pengajar di daerah itu. Ia merasa bersyukur karena memperoleh kesempatan untuk bisa berbagi dan menimba pengalaman di daerah.

Setelah itu, Matilda bekerja sebagai process engineering di sebuah perusahaan Engineering, Procurement, Construction (EPC). “Menjadi insinyur adalah satu dari sekian passion saya, di luar mengajar. Saya ingin meniti karir di bidang engineering, sambil aktif di berbagai kegiatan sosial. Saya bersyukur bahwa perjalanan hidup saya tidak terlepas dari hal-hal yang sangat saya cintai,” ungkap buah hati pasangan Aloysius Sunarto dan Yosephine Ria Astuti ini.

Menerima Kenyataan
Hari demi hari berlalu. Matilda larut dalam kesibukan pekerjaan. Pada Juni 2014, ia merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Ada pembengkakan kelenjar getah bening di leher kiri. Suhu badannya juga tinggi. Ia pun memeriksakan diri ke dokter. Diagnosa awal dari dokter adalah ia terkena Tuberculosis (TB) kelenjar. Matilda pun mencari second opinion dari tiga dokter spesialis penyakit dalam lainnya. Diagnosa dokter bervariasi, antara TB kelenjar positif dan negatif. Meskipun begitu, sulung dari dua bersaudara ini akhirnya memutuskan melakukan pengobatan TB kelenjar pada dokter keempat yang ia datangi.

Setelah Matilda menjalani pengobatan selama empat bulan dari sembilan bulan yang dijadwalkan, tidak ada perkembangan berarti. Malahan setiap bulan, ia mengalami pembengkakan kelenjar getah bening, diikuti demam tinggi pada malam hari, nyeri tulang dan sakit perut. Dokter menyatakan, itulah infeksi sekunder sebagai efek samping TB kelenjar.

“Namun, setelah membaca banyak literatur dan bertanya kepada teman yang menderita TB kelenjar, saya mulai merasa ada yang salah. November 2014, ketika gejalanya makin parah dan muncul pembengkakan kelenjar getah bening di leher kanan, saya pergi ke dokter lain dan menjalankan biopsi jarum halus kedua. Ternyata, hasilnya adalah Lymphoma Malignant Hodgkin atau Hodgkin’s Lymphoma, bukan TB kelenjar,” kisah Matilda.

Pemeriksaan demi pemeriksaan dilakukan. Dokter menyatakan, Matilda terkena Hodgkin’s Lymphoma stadium 3B, yang sudah menyebar sampai ke limpa. Untuk mencari second opinion, ia berobat ke Singapura. Hasilnya sama. Limfoma adalah kanker yang menyerang sistem limfatik, yang merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh. Bukannya menjalankan tugas untuk menyerang penyakit yang masuk ke tubuh, sistem kekebalan tubuh justru diserang dan dilumpuhkan oleh sel kanker ini.

Kenyataan pahit ini tak serta merta mudah ia terima. Namun, Matilda tak mau terlalu larut dalam kekecewaan. Ia berusaha menerima serta berfokus pada pengobatan dan penyembuhan penyakitnya. Ia menjalani kemoterapi setiap dua minggu sekali sebanyak 12 kali.

“Sejak didiagnosa limfoma, kantor memberikan cuti selama enam bulan, Januari- Juni 2015, sampai pengobatan tuntas. Selama cuti, saya memanfaatkan waktu untuk mempersiapkan kuliah S2 dan kembali menjadi admin di Blood for Life,” ungkap umat Paroki St Alfonsus Nandan, Yogyakarta ini.

Terus Berjuang
Di tengah kelemahan fisik, Matilda terus menyalakan harapan. Dukungan keluarga dan orang-orang terdekat turut menguatkan perjuangannya untuk menjalani pengobatan. “Saya bersyukur karena keluarga saya tetap positif dan optimis menghadapi vonis kanker, sehingga saya pun optimis,” kisahnya.

Ketika pertama kali didiagnosa limfoma, teman Matilda langsung mencarikan dokter terbaik di Singapura dan menawarkan rumahnya sebagai tempat tinggal selama Matilda berobat. Ia juga dipertemukan dengan survivor limfoma yang telah sembuh dan membantunya melewati masa-masa sulit selama pengobatan.

“Saya mampu menjalani pengobatan sampai sejauh ini karena campur tangan Tuhan lewat orang-orang di sekitar saya. Inilah yang tak henti-hentinya saya syukuri. Limfoma memberikan pengalaman paling berharga bagi hidup saya. Selain itu, saya ingin menularkan semangat bagi penderita limfoma lainnya,” ungkap perempuan kelahiran Sleman, Yogyakarta 14 Maret 1987 ini.

Meskipun masih berjuang dengan kanker yang mendera tubuhnya, Matilda tetap ingin berbagi dengan orang lain. Ia membuat blog untuk berbagi informasi mengenai limfoma. Lewat blog ini, ia dipertemukan dengan beberapa survivor limfoma maupun teman yang masih berproses untuk menjalani pengobatan limfoma dan kanker lainnya. Mereka saling bertukar informasi dan pengalaman mengenai pengobatan limfoma dan saling mendukung.

“Ide tulisan berasal dari pengalaman saya semasa proses diagnosa dan pengobatan. Ada juga informasi lain yang selama ini belum banyak dibahas, misalnya pola makan selama kemoterapi. Di samping itu, teman-teman juga sering memberikan masukan ide untuk tulisan,” ujar Matilda.

Selama berjuang menghadapi sakit, Matilda pernah didera kecewa, putus asa, dan ingin menyerah. Dalam situasi itu, ia menyerahkan semua kepada kehendak Tuhan. “Dengan mengandalkan Tuhan, setiap langkah akan terasa lebih ringan dan hidup menjadi penuh syukur. Saya juga tidak lupa untuk selalu berterima kasih kepada tubuh yang sudah berjuang melawan kanker. Semakin banyak rambut yang rontok, badan kian terasa sakit, semakin banyak pula sel-sel kanker yang mati,” tuturnya.

Harapan untuk sembuh menghiasi hati Matilda. Ia berharap agar mereka yang tengah berjuang melawan kanker bisa menjadi pasien yang kritis dalam mengawal proses diagnosa dan pengobatan. “Juga selalu positif dalam menjalani pengobatan, selalu membawa setiap kesulitan dalam doa karena Tuhanlah yang akan membantu dan memandu kita untuk menemukan jawaban dari pergumulan kita,” demikian Matilda.


Dari :
Ivonne Suryanto


DOMINUS VOBIS CUM
REGARDS
RICHARDO NELSON

Sunday 14 June 2015

Kesaksian Romo Rofinus Jewarut SMM: Rahmat Mati Suri


DEAR ADMIN GEMAKSI




Pengalaman mati suri menyadarkannya bahwa Tuhan telah menyapa dirinya. Sebelum terpanggil menjadi imam, ia bercita- cita menjadi jagoan untuk membela keluarganya.

Ia terbujur kaku di atas tempat tidur berukuran tiga kali tiga meter dengan mengenakan kemeja dan kain songket, pakaian khas masyarakat Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sela jemarinya ia menggenggam sebuah Rosario berwarna putih. Telinga dan hidung pun disumbat dengan kapas agar tak mengeluarkan darah. Tubuhnya sudah dingin dan pucat. Kain putih dan beberapa rangkaian bunga menghiasi tempat ia dibaringkan.

Di dekat tempat tidurnya, terlihat sebuah meja berukuran sedang. Dua buah lilin, salib dan patung keluarga kudus diletakkan di meja itu. Ayah, ibu dan saudara-saudarinya mengelilingi tempat ia dibaringkan sambil menitikkan air mata. Sesekali terlihat keluarganya bergantian mencium dan membisikkan kata-kata perpisahan kepadanya. Semua orang yang hadir mengakui, Rofinus Jewarut telah meninggal tepat pukul 19.00 pada Kamis Putih, April 2001. Misa Arwah pun diadakan di rumahnya.

Persis pada Jumat Agung, sekitar pukul 15.00, di sela isak tangis keluarga yang hadir, Rofin tiba-tiba membuka mata, tersenyum dan duduk di tengah-tengah mereka serta meminta makan. Melihat anaknya hidup, sang ayah langsung memeluknya. Sementara orang-orang yang ada di sana menjauh dengan rasa takut. Dari bagian belakang kepala Rofinus keluar darah kental yang berbau. Beberapa menit kemudian, saudara-saudarinya baru berani menyentuh dan memberi Rofinus makan.

Waktu itu, Rofinus merasa sedang tidur lelap. “Saya merasa tidur paling nyenyak dan damai tanpa merasa ada sakit pada tubuh saya. Pengalaman tidur nyenyak seperti itu tak pernah lagi saya alami sampai sekarang,” kata Rufinus, alumnus Seminari Menengah St Paulus Mataloko, Flores ini.

Menjadi Jagoan
Rofin, sapaannya, lahir di Hawut, sebuah kampung kecil di Flores Barat. Di tengah kesulitan ekonomi yang melanda, orangtua Rofin tetap memperhatikan pendidikan anak-anak mereka. Setamat SMP St Stefanus Ketang, Ruteng, Rofinus melanjutkan sekolah ke SMA St Klaus Kuwu, Ruteng. Karena kesulitan ekonomi yang menghimpit keluarganya, ia tak bisa membeli seragam sekolah dan sepatu. Syukurlah ada kebijakan baru di sekolahnya. Mereka yang tak mampu, boleh mengenakan pakaian bebas, bahkan tanpa sepatu ke sekolah. Sementara mereka yang mampu, dianjurkan untuk memakai seragam dan sepatu.

Situasi krisis yang melanda menciptakan kesedihan bagi banyak keluarga di kampung halaman Rofinus. Situasi itu berbalik menjadi kegembiraan kala ada kunjungan Romo Paroki. Begitu pula bagi Rofin. Ia merasa gembira ketika Romo Stanislaus O’Grabek SVD berkunjung ke sekolahnya.

Tiap kali Romo Stanis mengunjungi sekolah Rofin, anak-anak pun diliburkan. Paling mengesankan adalah ketika mereka diberi kesempatan untuk bersalaman dengan Romo. “Ketika kami menyentuh tangan Romo Stanis, rasanya bahagia sekali,” kata Staf Ekonom Serikat Maria Montfortan (SMM) Provinsi Indonesia di Bandung ini. Pengalaman kecil tersebut terkenang kuat dalam hati Rofin. Sapaan dan ketulusan Romo Stanis itu meninggalkan kesan tersendiri baginya. Sejak itu, benih panggilan untuk menjadi imam pun mulai bersemi.

Namun, situasi ekonomi dan keterbatasan akses informasi mengenai pendaftaran masuk Seminari Menengah menjadi hambatan bagi Rofin. Belum lagi banyak orang di kampungnya berusaha mencari penghidupan layak dengan berbondong- bondong membuka lahan untuk bercocok tanam. Akibatnya, sebagian masyarakat terlibat perang berebut lahan.

“Keluarga saya mendapat banyak tekanan dari warga kampung karena dipandang memboikot atau tidak mau terlibat dalam perang berebut lahan. Mimpi saya untuk menjadi imam pun perlahan-lahan luntur,” ujarnya. Hidup doa kian menurun. Pengalaman menjadi misdinar, rajin ke gereja, berdoa Rosario seperti saat di SMP, pupus seiring banyaknya tekanan saat itu.

Rofin lebih banyak menghabiskan waktu untuk berlatih bela diri. Ia belajar kempo dan taekwondo. Belum juga puas, ia mengikuti bela diri Tunggal Hati Seminari-Tunggal Hati Maria (THS-THM). “Semuanya saya lakukan dengan tujuan untuk menjadi seorang petarung yang hebat guna melindungi keluarga saya,” ungkap Romo kelahiran 11 Februari 1981 ini.

Cita-cita menjadi jagoan ini semata murni mengandalkan kekuatan fisik. Kala ia mengikuti bela diri THS-THM, ada keseimbangan antara latihan fisik dan latihan rohani. “Bela diri inilah yang kemudian mengubah cara pandang saya dan cara hidup saya bahwa seharusnya fisik dan rohani selaras,” ujarnya. Dari pengalaman itu, keinginan menjadi imam pun merekah kembali.

Lewat perjumpaan dengan Romo Franciscus Borgias Trihandoko SMM, Rofin mendapat informasi tentang komunitas SMM. “Seminggu setelah perjumpaan itu, saya mengirim lamaran ke pimpinan SMM. Dan tak lama kemudian, saya dipanggil untuk mengikuti tes tertulis dan wawancara,” kenangnya.

Mati Suri
Usai mengikuti tes tertulis dan wawancara masuk biara SMM, Rofin merasa leher seperti dicekik dan badan panas. Suaranya menjadi parau, sulit untuk menelan makanan dan minuman. Menurut orang-orang, ia disantet. Ia lalu diantar ke dukun untuk diobati, tapi tidak berhasil. Sehari berlalu, tak ada tanda-tanda perubahan.

Kemudian, Rofin dibawa ke seorang ibu. Jawabannya sama, yakni Rofin disantet. Setelah sekitar satu minggu tinggal di rumah ibu itu tanpa makan dan minum, ia dibawa ke seorang pendoa. Pendoa itu menyarankan agar Rofin dibawa kepada Romo Paroki untuk didoakan dan diperciki dengan air suci. Tanpa menunggu lama, ia dibawa ke pastoran. Kala itu, pastor yang ada di paroki adalah (kini sudah almarhum) Romo Zakarias Jehadun. Ia mendoakan dan memberkati Rofin. Lalu, Romo Zakarias meminta agar Rofin segera dibawa ke rumah sakit.

Dari hasil pemeriksaan, dokter menyimpulkan Rofin terkena penyakit tetanus. “Pekan pertama, saya merasa sedikit mengalami perubahan. Masuk pekan kedua dan seterusnya, kondisi fisik saya justru semakin menurun,” tuturnya. Keluarga panik dan bingung. Keluarga kemudian memutuskan untuk membawanya pulang dan diobati secara tradisional.

Selama tiga bulan, Rofin mendapat pengobatan tradisional. Namun, kondisinya tak kunjung membaik. Akhir Maret 2001, pada masa Prapaskah, keluarganya merasa lelah dan putus asa. “Mereka menunggu keputusan Tuhan saja. Satu-satunya harapan terakhir mereka adalah penyelenggaraan Tuhan,” ujarnya. Siang malam keluarganya terus mendaraskan doa penyerahan kepada Hati Kudus Yesus, Doa Novena Tiga Salam Maria, dan merenungkan Jalan Salib Tuhan.

Pada Kamis Putih April 2001 pukul 19.00 Rofin dinyatakan meninggal dunia oleh keluarga dan masyarakat di kampungnya. Namun keesokkan harinya, Jumat, sekitar pukul 15.00 Rofin hidup kembali. Ia mengalami mati suri.

Rahmat Allah
Beberapa hari setelah peristiwa mati suri itu, Rofin kembali bersekolah dan mengikuti ujian susulan SMA. Sebulan berselang, ia menerima surat dari pimpinan SMM bahwa ia diterima menjadi calon imam SMM. Ia menerima tahbisan imamat pada 6 Juli 2012 di Labuan Bajo, Keuskupan Ruteng.

Pengalaman mati suri turut menguatkan keyakinan Rofin akan pilihan hidup menjadi seorang imam. “Meski ada banyak tantangan dan masalah, saya tidak berpikir untuk melepaskan imamat ini. Justru sebaliknya, saya diteguhkan oleh pengalaman istimewa tersebut,” tuturnya.

Bagi Romo Rofin, pengalaman mati suri juga merupakan tanda bukti rahmat Allah yang tak dapat diterangkan dengan akal sehat manusia. “Saya tidak takut akan apa yang terjadi dalam hidup ini dan akan ke mana hidup ini pergi. Tuhan pasti akan memelihara, mengarahkan ke mana Ia telah menyediakan tempat,” tandasnya seturut mengutip Injil Yoh 14:1-6.

“Kekuasaan Tuhan melampaui apa saja yang ada di atas bumi ini. Bahkan kekuatan Tuhan bisa membuat orang mati menjadi hidup kembali,” demikian refleksi Romo Rofin.



Dari 
Yustinus Hendro Wuarmanuk
 (NUSA TENGGARA TIMUR)



Dominus Vobis Cum

Ragards
Richardo Nelson


 

Yustinus Hendro Wuarmanuk




Yustinus Hendro Wuarmanuk