Sunday 12 July 2015

Florentina Sri Utami: Sempat Menyangkal Talentanya



Dear GEMAKSI



Ia sempat ragu atas kemampuannya sebagai dokter dan lari dari tugas kedokteran. Akhirnya ia disadarkan, yang menyembuhkan adalah Tuhan sendiri. Kini ia siap menjadi alat-Nya.

Berbeda dengan teman-temannya, lulus dari Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta pada 1991, Florentina Sri Utami hanya berdiam diri di tempat kos. Ia tak segera mendaftarkan diri ke Departemen Kesehatan (Depkes) untuk bisa menjalani praktik sebagai dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT). “Saya masih santai. Selama satu bulan saya di kos, berbenah dan mengurus berkas di kampus,” ungkapnya.

Kemudian ia bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyrakat (LSM) kesehatan di Yogyakarta atas tawaran seorang teman. Lulu, sapaannya, menerima pekerjaan tersebut, kala itu tugasnya di lapangan dan bukan berhadapan dengan pasien.

Ia bertugas untuk membuat posko obat, membentuk kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) serta melakukan monitoring masyarakat yang sakit Tuberkulosis (TBC) dan ibu hamil. Namun pekerjaan itu tidak lama ia jalani karena ia mendapat Surat Keputusan (SK) dari Depkes beberapa saat kemudian. Ia mendapat tugas untuk menjadi dokter PTT di Puskesmas Paliyan, Yogyakarta.

“Saya kaget juga karena SK turun begitu cepat. Saya menangis ketika tahu bahwa saya menjadi dokter PTT. Saya ditertawakan saudara saya karena teman- teman yang lain gembira bisa dapat SK dokter PTT, saya malah menangis. Saya merasa belum bisa apa-apa …,” kisah anak ketiga dari lima bersaudara ini.

Meskipun demikian, sebagai dokter baru, Lulu melaksanakan saja tugas sebagai dokter PTT di Puskesmas Paliyan. Tiga tahun di Paliyan, ia dipindahkan ke Puskesmas Karangmojo dan menjadi Kepala Puskesmas di sana. “Saya masih me rasa ragu waktu itu, apa bisa saya menjadi dokter …,” ujar perempuan kelahiran Situbondo, Jawa Timur, 26 Oktober 1965 ini.

Merasa Tidak Bisa
Lulu lahir dari keluarga guru. Ketika duduk di bangku SMA, Lulu kerap mem baca cerita tentang pelayanan Ibu Teresa dari Kalkuta. Kisah itu menginspirasi Lulu. Ia ingin bisa memberikan diri seperti Ibu Teresa. Dalam pikirannya, cara untuk bisa mewujudkan keinginan itu dengan menjadi perawat atau dokter.

Lulus SMA, ia pun mengikuti tes masuk di Akademi Keperawatan (Akper) Malang, Jawa Timur. “Saat tes di Akper, saya ditanya apa motivasi menjadi perawat? Saya bingung juga mesti menjawab apa.. Saya jawab saja ingin memakai baju putih,” kisah dokter Lulu.

Selain mendaftar di Akper, ia juga mendaftar di jurusan kedokteran, UGM Yogyakarta. “Ternyata saya diterima di kedokteran UGM, saya tidak menyangka. Waktu mengetahui di terima, saya bingung. Saya merasa berat juga harus meneruskan kuliah di kedokteran, jauh juga dari tempat tinggal saya.”

Waktu itu, Lulu tidak memberitahu orang tuanya perihal ia diterima di UGM. Salah seorang adik Lulu yang mengetahui hal itu segera menyampaikan kepada sang ibu. Akhirnya Lulu pun menjalani pendidikan di jurusan kedokteran. “Semua berjalan baik. Setelah empat tahun teori, saya harus koas di RS Sardjito. Di situ saya mulai ragu. Saya tidak suka orang sakit. Rasanya saya ingin lari.Saya merasa tidak bisa membantu mereka. Saya ingin mundur ketika koas,” ungkap perempuan yang ketika kuliah sempat aktif di Legio Mariae ini.

Merasa tidak sanggup menghadapi pasien, Lulu pun menghadap dosen pem bimbing dan mengatakan ingin mundur. Dosen pembimbing menyarankan agar Lulu tetap meneruskan pendidikannya hingga selesai. Mendapat motivasi dari dosen pembimbing, Lulu berusaha untuk menyelesaikannya.

“Saya ikuti saja, mengalir saja. Waktunya jaga ya jaga. Meski saya merasa jenuh, stres, ingin melarikan diri, namun saya coba untuk menjalani hingga akhirnya selesai pendidikan ke dok teran pada 1991,” ujarnya.

Setelah menjadi dokter PTT di Yogyakarta, ia menikah pada 1994. Setahun kemudian anak pertamanya lahir. Waktu itu, ia memilih untuk tidak bekerja, sementara sang suami bertugas di Irian Jaya.

Suatu hari Lulu menelepon Romo Ignatius Sandyawan Sumardi SJ di Jakarta dan menceritakan keadaannya. Romo Sandyawan menawarkan pekerjaan di Jakarta kepada Lulu. Tahun 1996, Lulu bekerja di kantor Institut Sosial Jakarta (ISJ) selama satu tahun. Sang suami juga akhirnya menyusul ke Jakarta.

Dari ISJ, kemudian Lulu bekerja menjadi dokter di sebuah klinik selama beberapa bulan, menggantikan teman dokter yang berhalangan praktik. Ia juga sempat menjadi relawan di Ambon selama tiga bulan untuk melayani orang-orang yang terkena dampak kerusuhan Ambon waktu itu. Setelah itu, ia kembali menganggur. Hingga ia memutuskan untuk mengikuti tes menjadi dokter di beberapa rumah sakit di Banten dan diterima sebagai dokter di RS Misi Rangkas bitung, Banten (2000-2007).

Membuka Diri
Dari RS Misi, Dokter Lulu mendapat tawaran untuk melayani sebagai dokter klinik di daerah Bumi Serpong Damai (BSD) dan dokter pengganti di sebuah klinik pabrik sepatu di Tangerang. Hingga ia diangkat sebagai dokter tetap di klinik pabrik sepatu itu dan meninggalkan klinik di BSD.

Awalnya ia merasa jenuh melayani di sana. Rasa jenuh itu perlahan hilang kala ia merasa menjadi bagian dari karyawan pabrik. “Setelah ikut bus jemputan bareng mereka, saling menyapa, bertukar cerita, pengalaman … saya merasa satu bagian dari mereka. Bos mereka, orang Korea saja begitu sayang kepada mereka, kenapa saya yang sama-sama orang Indonesia tidak membantu mereka. Dari situ saya merasa, saya ada gunanya ternyata di sini,” tutur Dokter Lulu sambil tersenyum.

Sejak 2007 hingga kini, Dokter Lulu melayani di klinik pabrik sepatu. Ia praktik pada Senin-Jumat, dari pagi hingga sore hari. Saat ini, ia juga melayani di sebuah klinik di BSD seminggu dua kali, Senin dan Rabu sore usai melayani di klinik pabrik sepatu.

Di celah kesibukan pekerjaan, ia ambil bagian dalam pelayanan di klinik Paroki St Monika BSD, dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) BSD. “Tidak rutin, kalau pas bisa, ya saya ikut melayani.”

Salah satu perikop Kitab Suci yang menggetarkan hati dan menguatkannya yakni perumpamaan tentang talenta (Mat 25:14-30). “Saya sering menangis kalau dengar Romo kothbah dengan mengacu ayat tentang talenta. Saya merasa saya tidak mau mengakui talenta yang Tuhan anugerahkan kepada saya,” ujarnya.

Seiring waktu, Dokter Lulu menikmati tugasnya sebagai seorang dokter. “Awal nya saya kurang percaya diri. Apakah saya bisa menyembuhkan pasien- pasien saya? Saya mengubah pola pikir saya itu. Yang menyembuhkan pasien itu bukan saya …. Semua saya serahkan kepada Tuhan. Dia yang memberikan kesembuh an,” tandas perempuan yang dikaruniai seorang putri dan dua putra-putri kembar ini.

Dokter Lulu berharap bisa terus melayani orang lain melalui profesinya. “Selama saya masih bisa bekerja, saya akan terus bekerja sebagai dokter. Saat inilah saya baru merasa menjadi dokter. Saya harus belajar terus seumur hidup saya. Saya bersyukur atas anugerah Tuhan. Semua sudah diberikan Tuhan… kadang saya kurang berterima kasih kepada-Nya,” demikian Dokter Lulu bercerita.

Dari :
Maria Pertiwi

Monday 6 July 2015

Mengenal Yesus, Lewat MujizatNya




Aku mau cerita yang bersaksi aja, nama 'after re-born' nya adalah Yehezkiel Immanuel (nama aslinya N. Arifin).

Bpk. Yehezkiel ini (sekitar usia 30th an) asli Madura, alias Madura asli beristrikan seorang turunan Dayak asli. Beliau memulai ceritanya bahwa dari lahir adalah keturunan 'sepupu', usia 17 thn masuk sekolah 'teologianya sepupu', sewaktu dewasa hijrah ke Sampit, Kalimantan.
Di sana kerjanya adalah "ngerjain" orang-orang Kristen yang amat ia dan kelompoknya benci. Setiap Hari Minggu mereka sengaja mengangkat penutup 'pengontrol got' supaya orang-orang Kristen yang mau ke gereja yang melewati trotoar terjebak jatuh ke dalam got! Tidak sedikit korban yang keseleo dan luka. Hampir setiap subuh ia mengantongi batu-batu khusus melempari gereja-gereja, pokoknya benci banget dah!
Bpk. Yehezkiel ini kemudian berkenalan dengan seorang perempuan asli suku Dayak di sana, yang mana sama sekali tidak memakai atribut Kristiani sehingga ia tidak tau kalau wanita ini orang Kristen. Namun setelah wanita ini mengaku jatuh hati padanya, dan ketahuan bahwa ia seorang nasrani tentulah ditolak mentah-mentah. Tapi karena sang wanita berjanji mau pindah kepercayaan dan bersedia menikah secara hukum agamanya, maka merekapun singkatnya menikah (yang ini jangan ditiru). Ternyata sang istri sesudah menikah tetap berdoa dengan cara 'lama', bukannya belajar Al Quran, melainkan terus membaca kitab sucinya sendiri.
Pertikaian sering terjadi, dan Bpk.Yehezkiel ini tidak tanggung-tanggung, bukan menampar saja, melainkan amarahnya bisa sampai memukul, menganiaya bahkan menginjak istrinya! Sudahpun demikian, sang istri hanya berkata, "dibunuhpun saya tidak apa-apa, asal jangan engkau suruh saya menyembah Tuhanmu, dan jangan bakar Alkitab saya ini. Saya sudah siap membayar harga sejak saya menikah denganmu." Istrinya tetap mendoakan dia.

Suatu kali (th '99-2000) terjadi kerusuhan besar di Sampit, dimana orang Dayak membantai orang-orang Madura, memenggal kepala mereka dan memakan daging mereka!
Bpk. Yehezkiel sangatlah ketakutan! Betapa tidak, orang Dayak yang memiliki kuasa gelap ini bisa "mencium" bau orang Madura dari jarak 500 meter!
Beliaupun meminta tolong istrinya bagaimana caranya melindungi dia. Istrinya berkali-kali menjawab, "Saya tidak bisa melindungimu. Yang bisa menolong kamu adalah Tuhan Yesus, IA Tuhan yang hidup, yang menolong anak-anakNya tepat pada waktunya. Tidak ada yang mustahil bagi DIA, jadi minta tolonglah padaNya."
Tentu saja Bpk. Yehezkiel jadi marah, "ngapain minta tolong sama Tuhan mu yang gondrong, Tuhannya orang barat!". Tapi ketika ketakutan menghantuinya kembali dia minta tolong istrinya, "kan kamu orang Dayak, gimana lah caranya ngomong sama mereka! Kalau aku mati, gimana?" Istrinya berkata, "kalau kamu mati, ya kehendak Tuhan... Hanya Tuhan Yesus yang bisa menolong kamu, bukan saya." Karena buntu, ia pun terpaksa memutuskan ikut ke pengungsian, tetapi istri tidak bersedia ikut, anak mereka waktu itu baru beberapa bulan usianya.
Karena truk sudah datang, istrinya membawakan beliau sebuah tas kecil, sambil berpesan, "semua yang kamu perlukan ada dalam tas itu." Bpk.Yehezkiel tidak sempat membuka apa isinya, pokoknya dia percaya saja, lalu naik ke truk dan duduk paling pojok, penuh dengan rasa takut. Truk tersebut dikawal oleh 4 orang tentara, di dalamnya ada sekitar 20 orang. Tiba-tiba di tengah jalan mereka bertemu dengan segerombolan orang Dayak yang jumlahnya hampir seratus, berteriak agar diserahkan orang-orang Madura yang di dalam truk. Merasa bertanggung jawab, seorang tentara berkata, "Tidak bisa! Langkahi dulu kami!" Tentara tersebut menembak, tetapi sebuah 'sumpit beracun' menghujam dadanya, tentara itu tewas seketika!
Teman-temannya berlari dan meninggalkan ke 20 orang Madura di dalamnya. Wah, mereka tentu takut setengah mati! Semua sembahyang dan komat-kamit, hanya Bpk. Yehezkiel yang 'kelu', ketakutan menyergap dia sehingga tidak tahu harus berbuat apa.
Tiba-tiba seorang ibu muda berdiri, sambil membopong bayinya, mungkin bermaksud meminta belas kasihan..... ..namun hanya dalam hitungan detik, kepalanya sudah jatuh ke tanah, dengan darah yang tersembur dari batang leher yang putus! Suaminya reflek berdiri menangkap bayinya, segera sebuah tombak menembus perutnya!
Korban kerusuhan
Saat itulah, Bpk. Yehezkiel "coba- coba" (siapa tahu benar kata istrinya) berseru dalam hati, "Tuhannya istriku... Kalau benar Engkau Tuhan yang hidup dan tidak Ada yang mustahil bagiMu, maka permintaanku sangatlah mustahil : aku ingin selamat! Dan kalau aku selamat maka seumur hidupku sampai selama-lamanya aku akan menyembah Engkau."
Dalam sekejab, ia merasakan ada sesuatu yang membungkus tubuhnya. Segera satu persatu orang-orang dalam truk itu dibantai. Dan iapun harus berdiri..... . tetapi aneh sekali, sekian banyak orang Dayak itu tidak ada yang melihatnya! Ia berjalan di antara orang-orang Dayak dengan penuh keheranan, lalu berlari terus menuju sungai yang di pinggir jalan.
Korbannya tak pandang usia
Di belakangnya ia melihat 3 orang mengejar, ia kira mengejar dirinya, ternyata........ mereka 'membaui' ada orang Madura yang bersembunyi dalam sungai, orang itupun mati ditombak! Tetapi tetap saja mereka tidak melihat dan 'membaui' Bpk. Yehezkiel yang ada di seberang sungai yang sama........ sesuatu yang "mustahil" sudah Tuhan lakukan. Apa yang ia harus lakukan sekarang?
Sesudah peristiwa itu berakhir, ia kembali ke jalan raya dan berdoa (kali ini bersuara). "Tuhannya istriku, kamp penampungan masih 8.5 km dari sini, saya tidak tahu harus bagaimana... bukankah tidak ada yang mustahil bagiMu, dan Engkau menolong anak-anakMu tepat pada waktunya?" Seketika itu, sebuah mobil tentara lewat dan berhenti di depannya! "Bapak orang Madura kan ? Ayo cepat naik, kami mau ke penampungan, hari ini penyisiran terakhir orang-orang Madura harus keluar dari Sampit!"
Terheran-heran ia melihat pekerjaan 'Tuhannya istri'... Sampai di kamp, puluhan ribu orang-orang Madura di sana berkumpul. Karena sangat lapar, ia mencoba membeli makanan, ternyata uangnya yang banyak itu tidak laku! Saat itu, sebuah sepeda motor hanya ditukar dengan 1 dus supermi dan 1 karton aqua. Untuk 3 dus supermi + 3 karton aqua ditukar dengan sebuah mobil L300, harta tidak lagi berharga! Ia sangat kelaparan, dibukanya tas kecil mengingat pesan istrinya, "apa saja yang kamu butuhkan ada di situ" - ternyata... isinya "hanya" sebuah Alkitab!
Maka sekali lagi ia berdoa, "Tuhannya istriku... Engkau sudah menyelamatkan aku sejauh ini, pastilah tidak membiarkan aku mati kelaparan. "Mustahil" rasanya mendapatkan makanan di tengah situasi begini, tetapi bukankah tidak ada perkara yang mustahil bagiMu?"
Lalu ia beranjak keluar, berjalan saja mengitari pinggiran camp, ternyata seorang teman melihat dia dan memanggil namanya lalu membagikannya makanan, GRATIS!
Bukan hanya cukup untuk dirinya, ia juga bahkan bisa membagikan pada beberapa orang lain. Luar biasa! Sesudah itu tiba-tiba terdengar suara speaker, diumumkan ada truk-truk yang siap mengangkut 3.000 orang ke Surabaya subuh nanti (12 jam dari waktu itu), jadi yang mau ikut diharapkan naik ke truk. Maka mengerikan sekali, orang-orang berhamburan berebutan naik ke atas truk, bahkan bergelantungan di badan truk, yang penting bisa ikut terangkut ke pelabuhan.
Ketakutan membuat orang-orang ini kehilangan akal, betapa tidak... di dalam kamp pun kadang-kadang ada yang bisa tertombak mati. Tidak sedikit yang mati terinjak-injak saat itu!
Bpk. Yehezkiel 'bengong' melihat truk-truk yang 'diselimuti' manusia, dan ia berdoa, "Tuhannya istriku... aku ingin ke Surabaya, tapi tidak bisa dan tidak mau naik truk yang seperti itu... "
Tiba-tiba ketika ia sedang berdiri di pinggir kamp, sebuah truk lewat, isinya hanya beberapa orang! Truk itu ternyata milik ipar pamannya, dan iapun naik ke truk itu. Sampai di pelabuhan, begitu truk mereka naik ke kapal, pintu kapalpun ditutup. Masih ratusan orang yang tidak terangkut, seorang ibu tampak meratap, memohon belas kasihan, "suami dan bayi saya sudah naik Pak, tolong saya bisa ikut... kasihan bayi saya bisa mati kalau tidak ada yang menyusui...tolonglah saya, Pak..."
Tetapi tanpa belas kasihan petugas berkata, "Gak bisa ! Kalau diijinkan pada naik akan melebihi kapasitas!" Tali dilepas dari darmaga, hati Bpk. Yehezkiel terenyuh melihat ibu itu. Kapal sudah mulai berjalan perlahan, ia kembali berdoa, "Tuhannya istriku... kalaupun saya tidak ikut, saya ingin ibu itu bisa naik menggantikan saya..." Ternyata kapal merapat kembali, terdengar suara kapten dari speaker, "Semua penumpang yang masih ada di dermaga pelabuhan cepat naik!" Sungguh, semua yang "mustahil" dan "pertolongan yang tepat waktu" terus terjadi sepanjang hari, membuat Bpk. Yehezkiel 'melihat' betapa Tuhannya istri itu, Tuhan Yesus Kristus, yang adalah Tuhannya saudara semuanya, adalah Tuhan yang hidup!


Dikirim oleh Aina

Sunday 5 July 2015

Yohanes Vianey Wora: Dari Pemabuk Menjadi Yesus


Dear : GEMAKSI




Berprofesi sebagai tukang ojek, namun ia lebih dikenal sebagai “tukang mabuk” karena kesehariannya dilalui dengan mabuk-mabukan. Ia bertobat dan memperbaiki kesalahan dengan kesediaan untuk memerankan tokoh Yesus.

Menyongsong Paskah 2012, Orang Muda Katolik (OMK) Paroki St Thomas Morus, Maumere, Nusa Tenggara Timur membuat tablo Jalan Salib seperti tahun sebelumnya. Kala itu, OMK yang biasa berperan sebagai Yesus berhalangan padahal waktu pentas sebentar lagi. Tak ada OMK yang berani menawarkan diri menjadi Yesus.

Di tengah kebingungan itu, Yohanes Vianey Wora menawarkan diri untuk peran tersebut. Awalnya ia ditolak, OMK dan dewan paroki khawatir tidak ada umat yang hadir pada ibadat Jumat Agung. Di masa remaja, Yopi, sapaannya memang dikenal tukang mabuk dan pembuat onar. Alhasil pastor parokipun menjernihkan situasi ini, maka jadilah Yopi memerankan tokoh Yesus.

Dengan peran itu, Yopi berharap bisa melatih kesabaran dan belajar bertanggung jawab. Meskipun para algojo memukul, menendang, bahkan mengejeknya di luar skenario, ia berusaha bertahan dengan perannya.

“Ketika algojo memukul saya, kebanyakan mereka berteriak seperti mengejek. Teriakan mereka bukan berdasarkan naskah tapi mereka meneriaki sifat saya yang dulu. Ada yang berteriak, ‘Dasar tukang mabuk’, ‘Sudah bertobat kau? Pemabuk tidak pantas jadi Yesus …’,” kisah ayah tiga anak ini. Mendengar teriakan itu, Yopi berniat membuang salib yang dipanggul dan mengajak mereka berkelahi. Tapi ia mengurung kan niat itu.

Tukang Mabuk
Ketika remaja, sepanjang hari Yopi menghabiskan waktu dengan menenggak moke atau arak tradisional Flores. Tak jarang ia terkulai lemas di emperan toko, got, atau pinggir jalan dengan pakaian penuh bercak muntah dan berbau, muka dan matanya merah.

Ia kerap meneriaki orang yang lewat di dekatnya. “Kau lihat apa? Kau tidak senang saya mabuk?” teriak Yopi sambil mengepalkan tangan. Kebanyakan orang, terutama anak-anak merasa takut tatkala berpapasan dengannya.

Julukan “Yopi si tukang mabuk” pun melekat kepadanya meskipun waktu itu ia berprofesi sebagai tukang ojek. Masyarakat mengenalnya sebagai pembuat onar, yang tak segan memukul dan menyakiti siapapun. Ia sering meminta uang secara paksa kepada supir angkutan umum dan perempuan yang lewat di dekatnya.

“Kalau mata saya sudah merah, orang tidak akan mengganggu saya. Mereka tahu ‘otak saya lagi miring’…” kata kelahiran Maumere, 25 Februari 1974 ini. Setiap ada kekacauan, masyarakat sering menuding Yopi biang keroknya walau itu ulah orang lain.

Pembuktian Diri
Awalnya, Yopi tak peduli seperti apa anggapan masyarakat terhadap dirinya. Hingga suatu malam, pada 1997, saat akan pulang, dipersimpangan jalan menuju rumahnya, ia mendengar tangisan balita. Ibu anak itu mulai kesal karena sang anak terus menangis. Yopi kaget saat mendengar ibu itu mengancam anaknya, “Diam atau nanti ibu panggil Yopi, si pemabuk! Biar dia datang tangkap kamu!” Mendengar ancaman ibunya, anak itu tiba-tiba berhenti menangis.

Yopi terpukul, ia berpikir dialah satu-satunya orang Maumere yang tidak pernah berbuat baik. “Saya duduk sebentar karena tiba-tiba semua tulang sendi saya gementar. Badan saya kaku dan saya tak bisa berkata sepatah kata pun,” kenang Yopi.

Lalu ia melanjutkan perjalanan pulang. Di rumah, menjelang tidur, ibunya mengingatkan supaya Yopi jangan lupa berdoa.

“Malam itu saya pun berdoa: ‘Tuhan, kuatkan saya agar besok saya bisa mencari uang dengan halal’,” ujar nya. Pengalaman di persimpangan jalan begitu menyentak hati Yopi dan membuatnya ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik.

Keesokan harinya, ia bekerja sebagai tukang ojek. Ia tidak mabuk-mabukan. Tetapi, masyarakat enggan untuk menggunakan jasa Yopi. Banyak calon penum pang takut disakiti kalau menumpang ojek Yopi.

“Sakitnya lagi, ketika tidak ada ojek lain, hanya saya sendiri, orang enggan untuk diantar. Mereka akan menunggu ojek lain yang lewat. Mereka rela menunggu berjam-jam …. Saat saya menawari ojek, orang berkomentar lebih baik jalan kaki ketimbang diantar pemabuk,” kisah Yopi.

Anak-anak sekolahpun tidak mau Yopi menjadi tukang ojek langganan mereka. Di Maumere, ada kebiasaan anak sekolah mempunyai tukang ojek langganan yang mengantar mereka ke sekolah. Menghadapi penolakan demi penolakan, Yopi stres. Ia ingin kembali ke masa lalunya. Ia merasa sulit untuk bertobat dan berbuat baik. “Lebih baik saya menjadi pemabuk, kemana-mana tidak ada yang melarang. Tidak perlu kerja. Duduk dan uang datang dengan sendirinya.”

Merasa tertekan dengan keadaan, Yopi memutuskan untuk pergi dari tanah kela hirannya, Maka pergilah dia ke Bajawa, Kabupaten Ngada, Flores. Di sana, ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Teknik Menengah (STM) Boawae. Kebiasaan mabuk-mabukan ia tinggalkan. Ia berjuang untuk bisa menyelesaikan pendidikan. Tahun 1999, ia lulus STM.

Kobar semangat untuk melanjutkan pen didikan tinggi meletup dalam dirinya. “Motivasi saya masuk perguruan tinggi mau membuktikan bahwa pemabuk bisa berubah,” tandas laki-laki yang menempuh studi Ahli Madya (D3) di Politeknik Pertanian (Politani), Kupang ini. Sembari kuliah, Yopi menjalani pekerjaan sebagai tukang ojek untuk menyambung hidup. Orang tuanya jarang mengirim uang.

Menjadi Lebih Baik
Tahun 2002, ia lulus kuliah dan bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berfokus dalam usaha tani rakyat selama satu tahu. Lalu Yopi kembali ke kampung halamannya dengan harapan ingin mengubah image negatif dirinya. Namun, ia tak kunjung mendapat pekerjaan. Ia kembali menjadi tukang ojek.

Saat itu, orang masih takut kepada Yopi. Orang juga tidak percaya Yopi telah menyelesaikan kuliah. Malahan mereka berpikir Yopi membeli atau mencuri ijazah. Ia menerima semua itu dengan lapang dada. Ia tetap berusaha untuk mencari langganan ojek.


Usahanya perlahan membuahkan hasil. Ia mendapatkan dua pelanggan anak SD. Setiap kali mengantar, ia memastikan anak-anak ini sudah masuk kelas, baru ia pergi. Ia juga membantu anak-anak untuk belajar dan saat mereka kesulitan me ngerjakan pekerjaan rumah. Bahkan, ia pernah diminta oleh orangtua anak-anak itu untuk mengambilkan raport mereka. “Saya dianggap sebagai wali anak-anak.”

Perlahan, image negatif tentang Yopi memudar dari benak masyarakat di kampung halaman Yopi. Ia pun mulai terlibat di kegiatan OMK Paroki St Thomas Morus. Disana, ia bertemu dengan pujaan hati, Karti Agustina. Setahun merajut kasih, pada
2004 mereka menikah. Walaupun sudah menikah, Yopi masih mengikuti kegiatan OMK di parokinya.

Sejak Jalan Salib Paskah 2012- 2015, Yopi mendapat kepercayaan untuk memerankan tokoh Yesus dalam tablo. Hal itu menjadi salah satu pengalaman yang bermakna dalam hidup Yopi. Biarpun ia pernah mengalami ejekan, tendangan, pukulan dari algojo yang tidak sesuai dengan skenario, ia me nerimanya.

Para algojo itu adalah OMK yang pernah diperlakukan kasar oleh Yopi. Mereka mengambil kesempatan dalam tablo untuk membalas perbuatan Yopi dahulu. Akibatnya badan Yopi lebam, bahkan tulang rusuk kirinya retak dan membuat ia susah bernapas selama dua bulan. Yopi menerima perlakuan itu dengan lapang dada. “Yesus lebih sakit daripada saya. Kalau cuma sakit seperti ini, tidak ada apa-apanya,” tandasnya.

“Saya percaya Tuhan itu menjanjikan keselamatan pertama-tama kepada seorang penjahat. Ini seperti dalam Lukas 23:43, ‘… Hari ini juga engkau akan bersama saya dalam Firdaus abadi’.” Yopi bertobat karena janji Tuhan itu.

Bagi Yopi, memerankan tokoh Yesus menjadi salah satu bentuk silih atas perbuatan tidak baik yang ia perbuat. Ia ingin memperbaiki kesalahan dan kejahatannya dengan kebaikan. “Saya membiarkan mereka melampiaskan emosi dengan memukul saya. Mungkin dengan begitu bisa menghapus sedikit kesalahan saya dulu,” demikian Yopi bercerita.


Dari :
Yustinus H. Wuarmanuk